Senin, 26 September 2016

Tradisi Syawalan Orang jawa

Tradisi Syawalan

Setiap tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan yang panjang dan memiliki kesamaan akar historis. Evolusi yang diikuti akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan masyarakat penganutnya. Tesis itu, sangat relevan diajukan guna mengungkap tradisi ”syawalan”, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun.
Istilah syawalan atau sering disebut halal bihalal, memang berasal dari bahasa Arab.
Uniknya, istilah itu tidak dikenal oleh masyarakat Arab, karena memang tidak terdapat dalam tradisi dan kebudayaan mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syawalan memiliki arti “acara maaf-memaafkan” pada hari Lebaran. Sementara, istilah halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata ba-hasa Arab halal (baik atau diperbo-lehkan) yang diapit satu kata peng-hubung ba (Quraish Shihab, 1992).
Tradisi syawalan, kata Umar Kayam (1997), merupakan kreatifitas akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ketika Islam hendak bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan-ketegangan yang muaranya menimbulkan disharmoni. Melihat fenomena itu, para ulama Jawa lantas menciptakan akulturasi-akulturasi budaya, yang memungkinkan agama baru itu diterima oleh masya-rakat Jawa. Singkatnya, para ulama di Jawa dahulu dengan segenap kearifannya, mampu memadukan kedua budaya yang bertolak belakang, demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.

Sungkeman dan Ketupat 

Siapa yang mula-mula mengenalkan tradisi syawalan, belum diketahui secara pasti. Menurut Ibnu Djarir (2007), tradisi syawalan dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit, dengan tertib dan teratur melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Tradisi sungkem yang merupakan inti kegiatan syawalan, mengalami perluasan seiring dengan perkembangan zaman. Sungkeman saat ini dilakukan kepada semua orang tua. Makna sungkeman itu, sejatinya sangat mulia dan terpuji. Sebagai lambang penghormatan kepada yang lebih tua, dan permohonan maaf.
Seusai sungkeman, biasanya dilakukan jamuan makan dengan menu utama ketupat yang disebut kupat luar. Bagi masyarakat Jawa, ketupat memiliki makna filosofi yang dalam. Biasanya dibuat dari tiga bahan utama, yaitu janur kuning, beras, dan santan. Janur kuning atau pelepah daun kelapa muda, merupakan lambang tolak bala atau penolak bahaya.
Kemudian, beras sebagai simbol kemakmuran, dianggap sebagai doa agar masyarakat diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya. Sementara santan (sari buah kelapa) yang dalam bahasa jawa disebut santen, berima dengan kata ngapunten, yang berarti memohon maaf.
Kata Kupat Luar sendiri berasal dari kata “Pat” atau “Lepat” (kesalahan) dan “Luar” yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas. Maknanya, dengan memakan ketupat, orang diharapkan akan ingat kembali bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan. Selanjutnya, mereka berkewajiban untuk saling meminta dan memberi maaf agar kebebasan itu benar-benar sem-purna. Makna yang lain, ketupat berasal dari singkatan Ngaku Lepat yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri.
Adapun bentuk ketupat yang persegi, menjadi simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima pancer. Cara pandang itu menegasikan adanya harmonisasi dan keseimbangan alam: empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya, manusia dalam kehidupan, ke arah manapun dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu Tuhan yang Maha Esa.
Merekatkan Persatuan
Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional, aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut.
Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan. Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian.
Ia bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, plus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Maka, berhalal bihalal, mestinya tidak semata-mata dengan memaafkan melalui perantara lisan atau kartu ucapan selamat saja, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain khususnya yang diajak berhalal bihalal.
Syawalan juga merekatkan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang untuk jujur. Adanya kerelaan untuk saling memaafkan, sudah membuktikan mencairnya individualitas, strata sosial, egoisme, sektarian dan sebagainya. Orang juga dituntut untuk jujur, mau mengakui kesalahan dan lantas meminta maaf.
Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan ini, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang. Pasalnya, dengan lepas dan hilangnya dosa-dosa, orang akan merasa damai, tenang dan tentram.
Pada akhirnya, dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial atau kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang, Idul Fitri dengan tradisi syawalannya, diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya.

Ringkasan buku pengkajian puisi (RACHMAT DJOKO PRADOPO)

 Ringkasan buku pengkajian puisi (RACHMAT DJOKO PRADOPO)


  1.  BAB I PENDAHULUAN 1. Pengkajian Puisi Pengkajian puisi dapat dilakukan dari bermacam-macam aspek. Yaitu, puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, jenis-jenisnya, dan sudut kesejarahannya. Meskipun demikian, orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh karena itu, sebelum pengkajian aspek-aspek yang lain, perlu lebih dahulu puisi dikaji sebagai sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis. 2. Puisi dan pengertiannya Meskipun sampai sekarang orang tidak dapat memberikan definisi setepatnya apakah puisi itu, namun untuk memahaminya perlu diketahui ancar-ancar sekitar pengertian puisi. Secara intuitif orang dapat mengerti apakah puisi berdasarkan konvensi wujud puisi, namun sepanjang sejarahnya wujud puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya (Riffaterre, 19978:1). Saat ini jika hanya melihat bentuk visualnya antara puisi dan prosa tidak dapat dibedakan karena sama-sama bentuk bebas. Maka yang menjadi ciri sastra yang utama adalah niat pembaca, ini mengingat bahwa pembacaan yang memberi makna (Teeuw, 1983:6; Culler, 1977:138). Biasanya puisi didefinisikan sebagai karangan yang terikat, sedangkan prosa ialah bentuk karangan bebas. Wirjosoedarmo misalnya mengemukakan bahwa puisi itu karangan yang terikat oleh : 1) Banyak baris dalam tiap bait 2) Banyak kata dalam tiap baris 3) Banyak suku kata dalam tiap baris 4) Rima, dan 5) Irama       Ada pengertian lain menurut beberapa ahli, bahwa puisi adalah : Pendramaan pengalaman yang menafsirkan bahasa bermetrum. Tapi, apabila dikaitkan dengan hal definisi di atas maka definisi ini tidak cocok untuk puisi Indonesia, karena puisi Indonesia tidak bermetrum. Bisa saja penafsiran ini cocok apabila diartikan irama Altenbernd (1970:2). Pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya di susun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik (Carlyle). Pernyataan perasaan yang imajinatif (Wordworth). Lebih dari pernyataan perasaan yang bercampur-baur (Auden). Pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional dan berirama (Dunton). Rekaman detik-detik paling indah dalam hidup (Shelley). Jadi, teranglah dari beberapa kutipan di atas ada perbedaan-perbedaan pikiran mengenai pengertian puisi dan sudah tidak cocok lagi dengan wujud puisi zaman sekarang, atau cocok namun hanya untuk beberapa jenis puisi saja. Perbedaan pokok antara puisi dan prosa : 1. Kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintaksis; kesatuan korespondensi puisi resminya – bukan kesatuan sintaksis – kesatuan akustis. 2. Di dalam puisi korespondensi dari corak tertentu, yang terdiri dari kesatuankesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semula sampai akhir, yang Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 2
  2. 3. disebut dengan baris sajak yang di dalamnya ada periodisitas. (Slametmuljana, 1956:112 yang dikutip dari buku A.W. de Groot “Algemene Versleer”). Segala ulangan susunan baris sajak yang nampak di baris lain dengan tujuan menambah kebagusan sajak, itulah yang dimaksud dengan korespondensi (Slametmuljana,1956:113). Kumpulan jumlah periodus itu merupakan baris sajak. Periodus adalah pembentuk baris sajak menurut sistem, sedangkan periodisitas adalah sistem susunan bagian baris sajak (Slametmuljana,1956:112,113). Dalam poetika, puisi sama dengan karya sastra, baik prosa maupun puisi (cf. Wellek, 1968:142-150). Puisi dan prosa hanya dapat dibedakan berdasarkan kadar kepadatannya. Berdasarkan hal itu, bila padat karya itu disebut puisi, bila tidak padat disebut prosa. Puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta), hasil aktivitas memadatkan. Sedang prosa itu ekspresi konstruktif. Pada umumnya prosa bersifat bercerita (epis atau naratif) dan menguraikan. Sedangkan puisi bersifat pencurahan jiwa yang padat (liris dan ekspresif). 3. Puisi itu Karya Seni Puisi sebagai karya seni yang mengandung nilai keindahan khusus yang disebut puitis (khususnya dalam karya sastra). Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacammacam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sasana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Antara unsur pernyataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu dengan yang lainnya saling membantu, saling memperkuat dengan kesejajarannya ataupun pertentangannya, semua itu untuk mendapatkan kepuitisan seefektif mungkin,seintensif mungkin. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 3
  3. 4. BAB II ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA Analisis Strata Norma Roman Ingarden Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Analisis yang bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (Wellek dan Warrren, 1968:140). Puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman individual yang hanya sebagian saja dapat melaksanakan puisi. Karena itu, puisi (sajak) sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur norma-norma (implisit) yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan (Rena Wallek, 1968:150-151). Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata(lapis) norma. Rene Wellek (1968:151) mengemukakan analisis Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) ia menganalisis norma-norma itu sebagai berikut. Lapis pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Berupa satuan-satuan suara : suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak: suara frase dan suara kalimat. Suara itu bukan hanya suara tak berarti, melainkan bunyi (suara) dalam puisi haruslah bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Lapis kedua adalah lapis arti (units of meaning). Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan. Lapis keempat adalah lapis dunia yang tak usah dinyatakan, tetapi terkandung dalamnya (implied/implisit). Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (renungan). Berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci). Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis metafisis. Analisis strata norma Roman Ingarden hanya menganalisis puisi secara formal, menganalisis fenomena-fenomina, tidak mengemukakan nilai seni puisi yang dianalisis. Orang tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian. Analisis yang tanpa menghubungkan dengan penilaian merupakan kesalahan analisis fenomenologis (Wellek, 1968:156), karena puisi merupakan karya imajinatif bermedium bahasa yang unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968:25). Analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, dimaksudkan untuk menghindari mengkosongkan makna. Analisis yang dihubungkan dengan semiotik dan dan fungsi estetik sebagai berikut. Bunyi Orkestrasi bunyi: eufoni dan kakofoni; kombinasi vokal dan konsonan tertentu: aliterasi dan asonansi. Simbol bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa. Sajak: awal, tengah, dalam, dan akhir. Termasuk pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan ritme. Kata Pembicaraan kata meliputi: kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif; pilihan kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta gaya sajak. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 4
  4. 5. BAB III BUNYI Dalam puisi bunyi bersifat estetik,merupakan unsur untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dan sebagainya. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa,dan menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya. Bunyi dalam kesusastraan berperan penting dan pernah menjadi unsur kepuitisan yang utama dalam sastra romantik, yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat (Slametmuljana, 1956:56). Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori oleh Charles Baudelaire (1821-1867). Salah seorang simbolis, Paul Verlaine (1844-1996) berkata bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi (De la musique avant tout chose). Para penyair romantic dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik: merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin merubah kata menjadi gaya suara, bahkan mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah suara belaka. Dalam sajak-sajak penyair simbolis kebanyakan karena mementingkan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya, maka kata-katanya sudah melepaskan tugasnya sebagai tanda yang mewakili pengertian (Slametmuljana, 1956:60) karena dalam puisi pengertian tak lagi diutamakan. Di Indonesia aliran simbolisme tidak dianut secara nyata. Hanya unsur-unsur mementingkan bunyi dan lambang-lambang atau simbolik-simbolik dipergunakan oleh para penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam kesusastraan Indonesia pernah kemasukan aliran romantik, yaitu Pujangga Baru. Tampak para penyair ingin mendekati suara musik. Sajak-sajak tampak rapi, suaranya merdu, berirama karena terjadi ulangan-ulangan bunyi, ulangan kata, dan ulangan-ulangan kalimat. Pada akhir-akhir ini dalam dunia persajakan Indonesia, para penyair muda yang dipelopori Sutardji Calzoum Bachri dalam kredo puisinya (1981:13-14) menyatakan ingin kembali kepada mantra, ingin membebaskan kata dari jajahan pengertian. Misalnya yang berikut ini (1981:87). SEPISAUPI Sepisaupi Sepisau luka sepisau duri Sepikul dosa sepikan sepi Sepisau duka serisau diri Sepisau sepi sepisau nyanyi Sepisaupa sepisaupi Sepisapunya sepikau sepi Sepisaupa sepisaupi Sepikul diri keranjang duri Sepisaupa sepisaupi Sepisaupa sepisaupi Sepisaupa sepisaupi Sampai pisauNya ke dalam nyayi 1973 Dalam puisi bunyi dipergunakan sebagai orkestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama bisanya disebut eufoni (euphony), bunyi yang indah. Untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal yang Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 5
  5. 6. menggembirakan. Misalnya terlihat dalam sajak W.S. Rendra yang berjudul “ADA TILGAM TIBA SENJA”. Sebaliknya, kombinasi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, disebut kakofoni (cacophony). Cocok untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak teratur, bahkan memuakkan. Misalnya tampak dalam sajak Subagio Sastrowardojo yang berjudul “SODOM DAN GOMORRHA”. Begitulah, unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas tanggapan, dan memperdalam perasaan. Akan tetapi, bagaimanapun pentingnya anasir bunyi/musik dalam puisi, puisi tetap berbeda dengan musik (Slametmuljana, 1956:61). Di dalam puisi bunyi kata itu di samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga untuk okestrasi, digunakan juga sebagai: 1) Peniru bunyi atau onomatope; 2) Lambang suara (klanksymboliek); dan 3) Kiasan suara (klankmetaphoor) (Slametmuljana,1956:61). Lambang yang paling banyak dipergunakan oleh para penyair adalah dalam sajak adalah lambang rasa. Unsur kepuitisan yang lain ialah sajak. Menurut Slametmuljana (1956:75) sajak ialah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran. Sajak disebut pola estetika karena timbulnya dalam puisi ada hubungannya dengan keindahan yang mempunyai daya evokasi, yaitu daya kuat untuk menimbulkan pengertian. Ada bermacam-macam sajak(rima) yang banyak dipergunakan sebagai unsur kepuitisan dalam puisi Indonesia adalah sajak akhir, sajak dalam, sajak tengah, aleterasi, dan asonansi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasa, selain untuk orkestrasi dan mempelancar ucapan. Sajak akhir mempunyai nilai puitis bila sajak itu mengandung hakikat ekspresi, yaitu bila turut memberi bantuan melahirkan dan mempelancar pelaksanaan dan penjilmaan angan. Sajak sebagai sarana estetika jadi terdesak dengan munculnya aliran ekspresionisme, yang oleh kaum ekspresionis dianggap menghalangi penjilmaan angan yang harus timbul oleh ucapan yang spontan keluar dan tepat. Mereka tidak menyukai usaha penyair yang memperdewa sajak (Slametmuljana, 1956:93). Aliran ekspresionisme masuk ke Indonesia dipelopori oleh Chairil Anwar, mengakibatkan timbulnya sajak-sajak bebas yang tak mementingkan pola sajak (akhir). Namun, sesudah tahun 1950 pemakaian bunyi dan persajakan dihidupkan kembali. Bunyi dipergunakan sebagai orketrasi, untuk menimbulkan bunyi musik yang merdu, tetapi disesuaikan dengan analis-analis kepuitisan yang lain. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 6
  6. 7. BAB IV IRAMA Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pengertian berturut-turut secara teratur. Irama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya. Pada umumnya puisi Eropa mempergunakan dasar metrum. Metrum itu banyak macamnya. Misalnya metrum jambis. Tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku kata tak bertekan diikuti suku kata yang bertekanan (v -). Metrum anapest, tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan diikuti suku kata yang tak bertekanan,kemudian diikuti suku kata yang bertekanan (v v -). Metrum trochee atau trocheus, tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan diikuti suku kata yang tidak bertekanan. Dalam kesusastraan Jawa Kuno, kaki sajaknya terdiri dari kombinasi dua macam suku yang panjang atau berat disebut guru, sedangkan suku kata yang bertekanan ringan atau pendek disebut laghu. Dalam puisi timbulnya timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Dalam puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada. Kalau ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang terasa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Puisi yang merdu bunyinya dikatakan melodius: berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang mempunyai melodi. Seperti sajak Hartono Andangdjaja ini. NYANYIAN KEMBANG LALANG Putih di pandang-pandang Putih kembang-kembang lalang Putih rindu yang memanggil-manggil dalam dendang Orang di dangau orang di ladang Putih jalan yang panjang Kabut di puncak Singgalang Sepi yang menyayup di ujung pandang Putih bermata sayang Wajah rawan tanah minang (Buku Puisi, h.21) Melodi adalah paduan susunan deret suara yang teratur dan berirama (Kusbini,1953:62). Melodi itu timbul karena pergantian nada kata-katanya, tinggi rendah bunyi yang berturut-turut. Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada macam bunyi (nada) yang terdapat pada sajak itu tak seberapa banyaknya dan intervalnya (jarak nada) itu juga terbatas. Dalam berdeklamasi irama dan ketepatan ekspresi didapatkan dengan mempergunakan tekanan-tekanan pada kata. Ada tiga jenis tekanan, yaitu tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo. Tekanan dinamik ialah tekanan pada kata yang terpenting menjadi sari kalimat dan bait sajak. Tekanan nada ialah tekanan tinggi (rendah). Tekanan tempo ialah lambat cepatnya pengucapan suku kata atau kata (atau kalimat). Dalam berdeklamasi perlu diperhatikan diksi, yaitu cara mengucapkan sajak (pidato, dan sebagainya) atau teknik pengucapannya supaya dapat mengucapkan setepattepatnya, dan perlu juga memperhatikan timbre (warna bunyi) suaranya, yaitu corak bunyi, keadaan pembawaan atau sifat-sifat suara deklamator/tris yang tertentu, atau bunyi alat musik yang tertentu, yang satu dengan yang lain sangat berbeda. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 7
  7. 8. BAB V KATA Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata. Kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair disebut kata berjiwa (Slametmuljana, 1956:4), yang tidak sama (artinya) dengan kata dalam kamus, yang masih menggunakan pengolahan. Pengetahuan tentang kata berjiwa disebut stilistika. Sedangkan pengetahuan tentang kata-kata sebagai kesatuan yang satu lepas dari yang lain disebut leksikografi. Gramatika yang membicarakan efek dan kesan yang ditimbulkan oleh pemilihan kata dan penyusunan (penempatan) kata disebut tata bahasa stilistika, sedang yang lain yang membicarakan kaidah-kaidah bahasa disebut tata bahasa normatif. Dalam puisi belum cukup bila hanya ditemukan maksudnya saja,yang dikehendaki penyair ialah supaya siapa yang membaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan dan dialami penyair. 1. Kosa Kata Bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata. Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sangat diperlukan. Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya yang realistik, sedang penggunaan bahasa/kata-kata nan indah dapat memberi efek romantik. Tak jarang seorang penyair seperti W.S. Rendra, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, dsb., menggunakan kata-kata kuna yang sudah mati, kata-kata bahasa daerah, istilah-istilah asing atau perbandingan-perbandingan asing atau kalimat-kalimat asing, perbandingan Ahasveros dan Eros, dengan maksud untuk memberi efek universal dan dapat dimengerti oleh kalangan luas. 2. Pemilihan Kata Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (Barfiel, 1952: 41). Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbernd,1970:41). 3. Denotasi dan konotasi Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan (Altenbernd,1970:9). Bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek,1968:22). Dalam puisi (karya sastra pada umumnya) masih mengandung arti tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan disebut konotasi. Jadi, dalam membaca sajak, selain harus dimengerti arti arti kamusnya atau arti denotatifnya, juga harus diperhatikan konotasi, atau arti konotatifnya yang timbul dari asosiasi-asosiasi arti denotatifnya. 4. Bahasa Kiasan Bahasa kiasan (figurative language) juga menjadi unsur kepuitisan, yang mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup. Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 8
  8. 9. bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd, 1970:15). Jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah: a. Perbandingan Perbandingan atau perumpamaan atau simile, ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding yang lain. Tetapi, perumpamaan ini masih ada bermacam-macam corak. b. Metafora Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata yang telah disebutkan. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd,1970:15). Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan. Sering kali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor. Metafora semacam ini disebut metafora implisit (implied metaphor). c. Perumpamaan Epos Perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut. Perbandingan epos juga bermacam-macam variasi. Guna perbandingan epos ini seperti perbandingan juga, yaitu untuk memberi gambaran yang jelas,hanya saja perbandingan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar memberikan persamaannya saja. d. Allegori Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga baru. e. Personifikasi Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini banyak dipergunakan para penyair dari dahulu hingga sekarang. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di samping itu memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang konkret. Personifikasi juga bermacam-macam variasi. f. Metonimi Metonimi ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kisah pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd,1970:21). Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya dibanding metafora, perbandingan, dan personifikasi ialah metonimi dan sinekdoke. g. Sinekdoke (Synecoche) Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri. (Altenbernd, 1970:22). Sinekdoki ada dua macam: 1. Pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan. 2. Totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian. 5. Citraan (Gambaran-gambaran Angan) Citraan adalah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Alternbernd, !970:12), sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf, penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan (yang Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 9
  9. 10. bersangkutan). Coombes mengemukakan (1980:42-43) dalam tangan seorang puncak penyair yang bagus, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, dan memperkaya. Citraan biasanya lebih mengingatkan kembali daripada membuat baru kesan pikiran, sehingga pembaca terlibat dalam kreasi puitis (Altenbernd, 1970:13). Jenis-jenis imaji Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecpan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citra penglihatan (visual imagery), yang timbul oleh pendengaran (auditory imagery) dan sebagainya. Citraan penglihatan adalah jenis yang paling sering dipergunakan oleh penyair dibandingkan dengan citraan yang lain. Penyair yang banyak menggunakan citra penglihatan disebut penyair visual, misalnya W.S Rendra. Contohnya dalam sajak-sajak W.S. Rendra : Ruang diributi jerit dada (: pendengaran) Sambal tomat pada mata Meleh air racun dosa (1957:34) Altenbernd (1970:14) mengemukakan bahwa citraan adalah satu alat kepuitisan yang terutama yang dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan menyaran. Untuk memberi suasana khusus, kejelasan, dan memberi warna setempat (local colour) yang kuat penyair mempergunakan kesatuan citra-citra (gambaran-gambaran) yang selingkungan. Sajak yang menunjukkan adanya kesatuan citraan membuat jelas dan memberi suasana khusus. Sajak-sajak yang tidak menunjukkan kesatuan citraan menyebabkan gelap, seperti tidak ada saling hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain atau antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. 6. Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suat perasaan tertentu dalam hati pembaca (Slametmuljana Tt:20). Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca. Setiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran. Namun, ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan, sering disebut dengan sarana retorika (rhetorical devices). Sarana retorika merupakan sarana kepiutisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd, 1970:22). Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode itu ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, alirannya, paham, konversi dan konsepsi estetikanya. Sarana retorika yang dominan adalah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi). Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode atau angkatan ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Sarana-sarana retorika yang tidak banyak dipergunakan dalam puisi-puisi Pujangga Baru, diantaranya: Paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik, klimaks, kiasmus. Tautologi adalah saran retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Pleonasme adalah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 10
  10. 11. Enumerasi adalah saran retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Slametmuljana, Tt:25). Paralelisme (persejajaran) adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana, Tt:29). Retorik retisense adalah sarana mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan. Hiperbola adalah saran retorika yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Dengan maksud untuk menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas. Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir atau dirasakan. Paradoks yang mempergunakan penjajaran kata yang berlawanan disebut oksimorom. Kiasmus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu yang diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya. 7. Faktor Ketatabahasaan Penggunaan bahasa seseorang (parole) merupakan penerapan sistem bahasa (langue) yang ada (Culler, 1977:8), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi puisi yang ada (Culler, 1977:116). Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa maupun konvensi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Dalam puisi sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahasa yang umum. Penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa yang dilakukan oleh Chairil Anwar berupa pendekatan kata (untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang menyebabkan liris); penghilangan imbuhan (untuk membuat berirama); penyimpangan struktur sintaksis (Untuk mendapatkan irama yang liris, kepadatan, ekspresivitas, serta membuat bahasa segar dan menarik karena kebaharuannya). Sedangkan penyimpangan yang dilakukan Sutardji mencakup penghapusan tanda baca (yang efeknya memberikan kegandaan tafsir ataupun efek stream of conciousness arus pikiran yang mengalir tak terkendalikan dari bawah sadar), penggabungan dua kata atau lebih (untuk memberikan efek penyagatan atau melebih-lebihkan), penghilangan imbuhan (untuk mendapatkan irama, untuk kelancaran membaca, dan mendapatkan daya ekspresi yang penuh karena kepadatannya), pemutusan kata (untuk menarik perhatian dan artinya berubah, ataupun hilang artinya, yang memberi sugesti kesia-siaan atau arti yang tidak sempurna lagi), pembentukan jenis kata (untukmembentuk kata-kata benda atau kata kerja menjadi kata keadaan atau sifat dengan diawali kata yang atau yang paling). Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 11
  11. 12. BAB I ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK 1. Pendahuluan Analisis dalam Bagian I membicarakan unsur-unsur puisi yang berupa lapis-lapis norma secara sendiri-sendiri, haruslah dilanjutkan kepada tinjauan puisi secara menyeluruh. Lapis-lapis norma puisi dalam Bagian II ini dilihat hubungan keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh. Untuk memahami makna secara keseluruhan perlulah sajak dianalisis secara struktural. Di samping itu, karena sajak merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga disatukan dengan analisis semiotik. 2. Analisis Struktural Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Dalam pengertian struktur ini (Piaget via Hawkes, 1978:16) terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu: pertama, struktur merupakan keseluruhan yang bulat (ide kesatuan), yaitu bagian yang bagian bentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur berisi gagasan transformasi (ide transformasi) dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Ketiga, struktur itu mengatur iri sendiri (ide pengaturan diri sendiri [self-regulation]), dalam arti struktur tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda-benda. 3. Analisis Semiotik Menganalisis sajak adalah berusaha menangkap dan memberi makna pada teks sajak. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Karena sastra adalah sistem tanda yang lebih tinggi atas kedudukan dari bahasa, maka disebut sistem semiotik. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap makna sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konversinya. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifer) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon (adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah), indeks (adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petandanya yang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat), dan simbol (merupakan tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya yang bersifat arbitrer atau semau-maunya, dan berdasarkan konvensi masyarakat). 4. Latar Belakang Sejarah dan Sosial Budaya Sastra Menurut teori struktural murni, karya sastra haruslah dianalisis struktur unsur intrinsiknya saja. Unsur-unsurnya dilihat dari kaitannya dengan unsur lainnya yang terjalin dalam struktur itu sendiri. Analisis struktural murni memiliki keberatan-keberatan yaitu di antaranya mengasingkan karya sastra dari kerangka kesejarahannya dan latar belakang sosial budayanya. Bagaimanapun keberatannya, analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain (Teeuw, 1983:61). Tanpa analisis yang demikian, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri tidak akan tertangkap. Usaha untuk mengatasinya yaitu dengan strukturalisme dinamik, adalah Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 12
  12. 13. strukturalisme dalam rangka semiotik, yaitu dengan memperhatikan karya sastra sebagai sistem tanda. Sebuah karya sastra tidak lahir dalam kekosongan sastra, tidak lepas dari hubungannya dengan karya-karya sastra sebelumnya. Semua hubungan itu sangat menentukan makna dan pemahaman sebuah karya sastra (sajak). Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna sajak secara sepenuhnya, maka analisis sajak tidak dapat dilepaskan dari kerangka sejarah sastranya. Begitu juga karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial-budaya masyarakat di tempat karya sastra itu dituliskan. Maka untuk mendapatkan makna penuh karya sastra, latar belakang sosial-budaya yang melatarinya yang tercermin dalam sistem tanda-tanda sastra dalam karya sastra (sajak) yang dianalisis haruslah diberi pertimbangan. Untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, maka karya sastra perlu dianalisis dengan intertekstualitas. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 13
  13. 14. BAB II ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK-SAJAK AMIR HAMZAH Strukturalisme dapat paling tuntas dilaksanakan bila yang dianalisis adalah sajak yang merupakan keseluruhan, yang unsur atau bagian-bagiannya saling erat berjalin (Hawkes, 1978: 18). Sajak merupakan kesatuan yang utuh atau bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah di sini diberikan parafrase setiap sajak sebelum dianalisis secara nyata lebih lanjut. Sajaksajak yang dianalisis secara khusus di sini : Padamu Jua, Barangkali, Hanya satu, Tetapi Aku, Sebab Dikau, Turun Kembali, Insaf dan Astana Rela. 1. Padamu Jua Sajak ini merupakan monolog si aku kepada kekasihnya. Tuhan dalam sajak ini diantropomorfkan, diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan sebagai dara, sebagai kekasih, adalah salah satu cara untuk membuat pathos, yaitu menimbulkan simpati dan empati kepada pembaca sehingga ia bersatu mesra dengan obyeknya (Budi Darma, 1982: 112). Penggunaan citraan yang berhubungan erat dengan bahasa kiasan, dalam sajak ini dipergunakan untuk membuat gambaran segar da hidup, dipergunakan secara sepenuhnya untuk memperjelas dan memperkaya, seperti dikemukakan oleh Coombes (1980: 43), yaitu citraan yang berhasil menolong kita untuk merasakan apa yang dirasakan penyair terhadap obyek atau situasi yang dialami dengan tepat, hidup dan ekonomis. Citra gerak (kinaesthetik image): segala cintaku hilang terbang/ pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu: gerak itu ditandai dengan bunyi konsonan l diperkuat bunyi r, seolah tampak gerak burung terbang yang mengiaskan cinta yang hilang, begitu pula tampak gerak si aku yang lunglai. Citra rabaan (tactile/thermal image) dan penglihatan yang merangsang indera dipergunakan dalam: Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa (bait 4). Untuk merangsang pendengaran digunakan citra pendengaran (sound image) Suara sayup/ Hanya kata merangkai hati. Unsur-unsur ketatabahasaan dipergunakan dalam sajak ini untuk ekspresivitas, membuat hidup, dan liris karena kepadatan dan kesejajaran/keselarasan bunyi dan arti meski menyimpang dari kaidah kata bahasa formatif. 2. Barangkali Secara semiotik yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensikonvensi yang memungkinkan bahasa sebagai tanda mempunyai arti (Preminger, 1974:980), pilihan kata-katanya dalam sajak ini menandai suasana percintaan yang romantis, sesuai dengan khayalan si aku tentang kekasihnya. Metafora dalam sajak ini selain untuk membuat konkret tanggapan, juga dipergunakan untuk kesejajaran bunyi yang membuat ritmis: akasa swarga; nipis-tipis; di lengan lagu; selendang dendang; matamutiara-mu; dara asmara; swara swarna; pantai hati; gelombang kenang. Dalam sajak ini sarana-sarana kepuitisan yang telah terurai di atas dikombinasikan dengan fungsi bunyi. Irama dan ulangan-ulangan bunyi membuat liris dan menambah intensitas kegembiraan. 3. Hanya Satu Dalam sajak ini digambarkan betapa hebat kekuasaan Tuhan. Ia menurunkan hujan lebat dan membangkitkan badai untuk menenggelamkan bumi serta merusak, menghancurkan taman dunia yang indah. Sajak “Hanya Satu” terdiri dari dua bagian yaitu bagian I adalah bait 1-4, bagian II bait 5-7. bagian I dipergunakan untuk menunjukkan badai, hujan, dan banjir besar yang menenggelamkan bumi, serta menghancurkan umat manusia yang tidak percaya kepada-Nya. Secara ringkasnya oleh penyair ditunjukkan pada bagian I bahwa manusia hanya dapat mengetahui (mengenal) tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Karena itu, pada bagian II penyair mengemukakan kerinduannya dan hasratnya untuk dapat dekat rapat dengan Tuhan seperti ketika Nabi Musa di puncak di puncak bukit Tursina. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 14
  14. 15. Dalam sajak ini, koherensi antara arti kata, suasana kegemuruhan, ketakutan, kedasyatan itu tampak dalam bagian I, 1-4, ditunjukkan dengan kata-kata yang mengandung arti kedasyatan, yang berekuevalensi dengan bunyi berat vokal a dan u, serta o: timbul ,kalbumu, terbang hujan, ungkai badai, membelah gelap. Pada bagian I digambarkan kedasyatan yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan, maka citraanpun sesuai dengan itu yaitu citra gerak, visual, dan auditif (pendengaran). Pada bagian II, karena yang dikemukakan bersifat pemikiran, maka citra-citra yang dominan adalah citra-citra intelektual, yaitu hal-hal itu dapat dimengerti dengan berpikir. 4. Tetapi Aku Dalam sajak ini dikemukakan oleh si aku bahwa ia tiba-tiba sekejap ditemui Tuhan, tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan hal itu, meskipun mutiara-jiwa si aku telah lama dicari-carinya. Sajak ini untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan dipergunakan kiasan-kiasan berupa metafora yang juga berupa citraan. Dalam bait kedua, untuk kepadatan digunakan sinekdoki totum pro parte. Dalam sajak ini untuk pothos, yaitu rasa untuk meleburkan diri dengan obyeknya, dipergunakan citra-citra gadis, dara yang cantik bagai bidadari. Dalam sajak ini ekspresivitas dan intensitas arti dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat (menyangatkan) juga dengan unsur bunyinya yang selaras dengan pilihan katanya tersebut. 5. Sebab Dikau Dalam sajak ini dikemukakan bahwa meskipun manusia hidup senang dengan kekasih dunianya, namun sesungguhnya manusia ini tak ubahnya hanyalah boneka yang dipermainkan oleh Tuhan sebagai dalangnya. Pada bait 1 dipergunakan metafora-metafora implisit. Bait 2, -3, -4, dan -5 merupakan perbandingan epos (epit simile) yaitu, perbandingan yang diteruskan secara panjang lebar. Bait -5 menjadi pengeras artinya, menjadi memperjelas sifat ironi, hal ini disebabkan juga oleh bunyi kakofoni, bunyi yang jelek, yang parau pada baris ke-2, -3, -4 yaitu bunyi k berturut-turut. 6. Turun Kembali Dalam sajak ini dikemukakan ide bahwa manusia itu tidak bersatu dengan Tuhan. Manusia itu hamba, sedangkan Tuhan itu penghulu, maharaja. Manusia itu hidup di bawah lindungan Tuhan. Manusia itu dapat hidup senang berkat karunia Tuhan. Dalam sajak ini penyair mempergunakan bahasa-bahasa kiasan untuk mengkonkretkan ide yang abstrak, di samping untuk membuat ucapannya hidup dan menarik. Kiasan yang ada di dalam sajak ini pada umumnya berupa metafora, yang vehiclenya (term perbandingannya) sekaligus merupakan citraan. 7. Insyaf Dalam sajak ini dikemukakan bahwa si aku mendapati jalan buntu karena semua permintaan dan pertanyaan tidak dijawab oleh Tuhan. Dalam sajak ini penyair mempergunakan kata-kata yang tidak biasa lagi dipergunakan pada waktu sekarang: astana = istana, ripuk: pecah-pecah (remuk), hancur, dewala: dinding, tembok; sempana: restu; sapur: kesedihan (kesamaran?); melipur: melenyap. Dalam sajak ini juga terdapat penyimpangan tata bahasa normatif untuk mendapatkan ekspresivitas dengan kepadatan, yaitu hanya intinya saja yang diucapkan. 8. Astana Rela Pokok pikiran sajak ini bahwa tiadalah mengapa si aku dengan kekasihnya tidak berjumpa (hidup bersama) di dunia sebab si aku yakin bahwa nanti mereka akan bersua di surga. Dalam sajak ini tergambar adanya pertentangan antara dua hal, yaitu dunia dan akhirat. Sarana-sarana kepuitisan dalam sajak ini terutama berupa metafora dan citraan Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 15
  15. 16. (imagery). Pada umumnya ekspresivitas, menimbulkan kegandaan tafsir yang harus diisi oleh pembaca, yang seperti ini merupakan open plek (Iser Segers, 1980:39). Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 16
  16. 17. BAB III ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWAR Proses analisis dan parafrase sajak-sajak Chairil Anwar adalah seperti analisis dan parafrase sajak-sajak Amir Hamzah dalam bab 2, sebagai berikut. 1. Aku Secara struktural, dengan melihat hubungan antar unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukkan ketegasan : „ku mau, aku tetap meradang, dsb. Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir. 2. Selamat Tinggal Sajak ini merupakan penggalian masalah pribadi dan kesadaran kepada kejelekan dan kekurangan diri manusia sebagai pribadi. Sesungguhnya kata-kata dalam sajak ini adalah kata-kata biasa. Hanya saja karena konvensi puisi seperti dikemukakan oleh Preminger (1974:980-2), yaitu konvensi ekstrapolasi simbolik (mencari makan simbolik) dan konvensi makana, yaitu lirik yang kosong sebagai sesuatu yang mulia, maka kata-kata tersebut mempunyai kemampuan untuk ditafsirkan sebagai kata kiasan yang luas artinya. 3. Doa Dalam sajak ini Chairil Anwar menyatakan pengertian itu dengan cara yang tidak langsung, dengan kiasan, dan gambaran yang artinya membias. Dengan demikian, sajak ini disebut bergaya prismatis atau sajak prismatis. Secara semiotik, sajak ini dikontraskan bunyi vokal u yang dominan dengan bunyi i yang juga berturut-turut. Dalam sajak “Doa” tampak adanya pertentangan, seperti antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini secara semiotik tergambar dalam penggunaan bahasanya: pemilihan kata serta bunyinya. 4. Kepada Peminta-minta Mengenai arti kata „peminta-minta‟, kata ini dapat berarti peminta-minta dalam arti harfiah, arti kamusnya yaitu orang yang meminta sedekah atau pengemis. Bahasa puisi adalah polyinterpretable (banyak tafsir) dan sangat konotatif (penuh arti tambahan) (Wellek, 1968:25), maka kata „peminta-minta‟ dapat berarti kiasan yaitu orang yang meminta si aku untuk ingat kepada Tuhan, untuk menyembah Tuhan (Dia), sebab manusia itu ciptaan dan hamba Tuhan. Ide atau pengertian sifatnya abstrak, maka untuk memahaminya, supaya dapat dirasakan oleh pembaca, ide atau pengertian tersebut dikonkretkan dengan kiasan-kiasan dan citra-citra. Selain dikonkretkan dengan citra-citra serta kiasan seperti di atas, untuk menyatakan betapa tersiksanya si aku juga dipergunakan dalam sajak tersebut sarana retorika hiperbola. 5. Sajak Putih Dalam sajak ini penyair mengiaskan suara hatinya menggunakan tanda-tanda semiotik untuk kegembiraan dan kebahagiaan. Untuk ekspresivitas dan kepadatan dipergunakan penyimpangan dari tata bahasa normatif. 6. Sebuah Kamar Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 17
  17. 18. Dalam sajak ini penyair mengemukakan sebuah ironi kehidupan (di Indonesia), yaitu pertama orang luar itu selalu ingin mengetahui rahasia orang lain, atau mencampuri urusan orang lain. Kedua, dalam keadaan sangat menderita orang hanya berdoa, seperti si ayah si aku; ketiga, orang masih menambah anak lagi, padahal anaknnya sudah banyak dan dalam keadaan yang sangat menderita. Kehidupan tersebut dinyatakan dengan bahasa yang ironik-hiperbolik, yaitu sindiran yang dilebih-lebihkan. Ironi itu dinyatakan dengan pertentangan keadaan dan paradoks menggunakan bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu secara tak langsung. 7. Catetan Th. 1946 Dalam sajak ini, untuk mengemukakan ide abstrak dipergunakan bahasa-bahasa kiasan dan citraan untuk mengkonkretkan tanggapan dan menarik karena memberikan gambaran yang jelas dan terpusat. Dalam sajak ini kelihatan koherensi yang kuat antara pokok yang dikemukakan kenangan akan perang dan Kematian, kesia-siaan, dengan suasana murung, pilihan kata, dan bunyinya yang berat; ada koherensi struktural antara unsur-unsurnya. 8. Cerita buat Dien Tamaela Yang paling menonjol dalam sajak ini adalah ulangan-ulangan, baik ulangan kata, kalimat, maupun ulangan bait. Di antaranya berupa paralelisme, yaitu penjajaran kalimatkalimat yang artinya sama atau hampir sama dengan mengganti sebagian katanya. Ulangan-ulangan tersebut untuk memperkuat arti dan untuk membuat pikiran terkonsentrasi dalam berkontemplasi atau merenung, untuk menimbulkan „kekuatan gaib‟ yaitu daya pesona. Dalam sajak ini tampak pemunculan ciri-ciri sastra lama (yang disebut atavisme). Sajak ini bergaya mantra. Namun, sajak ini sesungguhnya alegori. Dalam hal bunyi sajak ini tampak adanya kesejajaran dengan arti kata-kata dan kombinasi kata-katanya secara sintaksis. Bunyi vokal yang dominan adalah a dan u yang cocok untuk menggambarkan kebesaran dan kegagahan tokoh Pattirajawane. 9. Tuti Artic Sajak ini mengemukakan pokok pikiran bahwa orang itu tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi antara kebahagiaan sekarang dan nanti. Bentuk sajak ini sendiri adalah soneta, dengan persajakan akhir yang rapi: a b a b ; a c a c ; d – e – d ; e – d – d . Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 18
  18. 19. BAB IV KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI PUISI Analisis struktural yang digabungkan dengan semiotik disebut strukturalisme dinamik (Teeuw, 1983:62). Sastra terikat arti bahasa dan konvensi bahasa. Dipandang dari konvensi bahasa, konvensi sastra itu merupakan konvensi tambahan, yaitu konvensi tambahan di samping atau di luar konvensi bahasa. Konvensi tambahan dalam sastra di antaranya konvensi bahasa kiasan, persajakan, pembagian bait, bahkan juga enjambement (perloncatan baris) dan tipografi (susunan tulisan). Hal ini memanfaatkan bentuk visual untuk memberi arti tambahan. Puisi itu menyatakan pengertian-pengertian atau hal-hal secara tidak langsung (Riffaterre, 1978:1), yaitu menyatakan sesuatu hal dan berarti yang lain. Dengan demikian, bahasa puisi memberikan makna lain dari pada bahasa biasa. Ketidaklangsungan pernyataan puisi disebabkan oleh tiga hal (Riffaterre, 1978:2) : 1. Penggantian Arti (displacing) Pada umumnnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre : 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnnya). 2. Penyimpangan Arti (distoring) Dikemukakan Rifatterre (1978:2) penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas (artinya dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir), kontradiksi (artinya dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan), ataupun nonsense (merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata). 3. Penciptaan Arti (creating of meaning) Terjadi penciptaan arti (Riffaterre : 1978:2) bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinnya, misalnya simetri (persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait), rima, enjembement, atau ekuivalensiekuivalensi makna (semantik) di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait (homologues). Misalnya sajak Subagio Sastrowardojo (1975:33). KEHARUAN Aku aku tak terharu lagi Sejak bapak tak menciumku di ubun. Aku tak terharu lagi Sejak perselisihan tak selesai dengan ampun. Keharuan menawan Ketika Bung Karno bersama rakyat teriak “Merdeka” 17 kali. Keharuan menawan Ketika pasukan gerilya masuk Jokja Sudah kita rebut kembali. Aku rindu keharuan Waktu hujan membasahi bumi Sehabis kering sebulan. Aku rindu keharuan Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 19
  19. 20. Waktu bendera Dwiwarna Berkibar di taman pahlawan. Aku ingin terharu Melihat garis lengkung bertemu ujung Aku ingin terharu Melihat dua tangan damai berhubung. Kita manusia perasa yang lekas terharu. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 20
  20. 21. BAB V HUBUNGAN INTERTEKSTUAL Untuk mendapatkan makna sepenuhnya sebuah sajak, selain sajak harus diinsafi ciri khasnya sebagai tanda (sign), tidak boleh pula dilupakan hubungan kesejarahannya. Ini berarti bahwa karya sastra itu sesungguhnya merupakan konvensi masyarakat dan ada aturan yang ketat. Konvensi isi pernyataan pantun dan syair biasanya berupa nasihat. Sebagai contoh, sebelum ada puisi Pujangga Baru sudah ada puisi Melayu, yang utama pantun dan syair. Aturan-aturan pantun yang ketat yang telah menjadi konvensi itu yang utama ialah: 1. Tiap bait terdiri atas 4 baris 2. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isinya 3. Sajak akhirnya berpola a b a b 4. Tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata Aturan syair yang utama adalah: 1. Tiap bait terdiri atas 4 baris 2. Keempat baris merupakan isi 3. Syair untuk menguraikan cerita hingga biasanya tidak cukup hanya satu bait, melainkan memerlukan beberapa bait 4. Pola sajak akhirnya a a a a 5. Tiap baris terdiri atas dua periodus seperti pantun dan terdiri atas dua kata pada umumnya. Akan tetapi, para penyair Pujangga Baru menentang aturan dan konvensi puisi dan pantun itu, baik mengenai konvensi bentuk formal maupun konvensi isi pikiran yang dikandungnya. Misalnya, seorang di antaranya adalah Rustam Effendi. Ia membuat sajak pemberontakan yang berjudul “BUKAN BETA BIJAK BERPERI”. Menurut bentuknya adalah syair, yaitu kelima bait berisi isi pernyataan yang bersambungan, tetapi sajak akhirnya berpola a b a b bukan a a a a. Pola sajak akhirnya adalah pola sajak pantun. Isinya berupa pernyataan perasaan pribadi, pernyataan perasaan dan pikiran. Hal seperti ini tidak dikenal dalam puisi Melayu. Akan tetapi, pola-pola bentuk yang teratur itu sesungguhnya masih merupakan konvensi sajak Melayu. Jadi sajak Rustam Effendi merupakan transformasi puisi Melayu dengan tradisi baru. Jadi, teranglah bahwa sajak-sajak itu ditulis dalam hubungannya dengan zaman penyair menulis maupun dalam pertentangannya dengan sajak-sajak zaman sebelumnya. Memahami sajak adalah usaha menangkap maknanya ataupun usaha memberi makna sajak. Untuk itu perlulah konteks kesejarahan sajak itu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan konteks kesejarahan ini, perlu diperhatikan prinsip intertekstualitas, yaitu hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstual antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik antara karya karya sezaman ataupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya dapat dilihat antara karya-karya pujangga baru, dengan karya angkatan 45, ataupun dengan karya lain. 1. Hubungan Intertekstual Sajak Kusangka dengan Penerimaan Sajak Chairil Anwar itu merupakan tantangan/penyimpangan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep estetik sastra lama. Juga, pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan realistisnya. 2. Hubungan Intertekstual Padamu Jua dengan Doa Secara intertekstual “Doa” Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian dengan sajak “Padamu Jua”. Ada gagasan dan ungkapan Chairil Anwar yang dapat dirunut kembali dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Begitu juga idenya meskipun dalam pengolahannya ada perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap sajak tersebut menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi masalah yang dihadapi. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 21
  21. 22. 3. Intertekstualitas Dalam Matamu dengan Sajak Putih Sajak Chairil Anwar “sajak Putih” dalam beberapa hal menunjukkan persamaan dengan sajak Amir Hamzah “Dalam Matamu”. Rupanya sajak Amir Hamzah itu merupakan hipogram sajak Chairil. Sajak Chairil Anwar merupakan transformasi sajak Amir Hamzah. Namun kelihatan perbedaan dalam cara mengekspresikan gagasan dan menunjukkan perbedaan sikap dalam menanggapi masalah. Sajak-sajak tersebut juga menunjukkan adanya persamaan tema, cerita, dan situasi. Kedua sajak tersebut juga sama-sama romantis, namun sajak Amir Hamzah menunjukkan sifat romantis yang murni, tercermin dalam pemakaian bahasanya yang berisi objek-objek alam murni dengan citra lama, dengan bahasa nan indah. Sedangkan keromantikan sajak Chairil Anwar tampak dalam kosakata, yaitu berupa katasehari-hari. 4. Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak-sajak Para Penyair Sesudahnya Chairil Anwar sebagai penyair pelopor Angkatan 45, sajak-sajaknya banyak mempengaruhi sajak-sajak penyair sezaman dan sesudahnya. Oleh karena itu, seringkali untuk untuk memahami sajak-sajak penyair sesudahnya perlu dilihat hubungan intertekstualnya dengan sajak Chairil Anwar. Yang dibicarakan yaitu hypogramnya. Ringkasan Buku Pengkajian Puisi 22
  22. 23. BAB VI LATAR BELAKANG SOSIAL - BUDAYA Pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan kebudayaan. Untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, selain sajak dianalisis struktur intrinsiknya dan dihubungkan dengan kerangka kesejarahannya, di antarannya dengan intertektualitas, maka analisis tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial - budayanya ( Teeuw, 1983 : 61, 62). Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatankekuatan pada zamannya (Abrams, 1981:178). Penyair Indonesia berasal dari bermacammacam masyarakat, sesuai dengan jumlah suku bangsa Indonesia. Untuk memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair sesuai dengan jumlah suku bangsa Indonesia, diperlukan pengetahuan tentang latar sosial - budayanya yang melatarinya.

    selamat membaca! :)

Ringkasan Novel Anteping Tekad

Ringkasan Novel Anteping Tekad

ANTEPING TEKAD

Wosing cariyos dhaupipun abdi kaliyan bendharanipun. Wiwit Irah menika abdi ingkang pinter lan prigel. Dene Sundoro uga pinter. Dene lelampahan cariyos menika inggih mekaten.
            Sonten menika Bapak lan Ibu Sutarna suweg sami lelenggahan. Dene putranipun Sucahya dolanan kaliyan Gimin. Boten dangu Irah abdinipun enggal ngladosaken unjukan lan nyamikan. Dalunipun Bu Sutarna nata papan patileman kaliyan Mbok Yem. Amergi Pak Semeru badhe rawuh kaliyan putranipun , inggih menika Sundara lan inggih pepacanganipun Sundara, menika Utami.
            Irah menika sampun lulus SMP lan mboten saged nerusaken amargi boten saged dipunbiyayani tiyang sepuhipun. Dening Bapakipun Irah badhe dipun kramakaken kaliyan Kalijo. Ananging Irah mboten kersa, lajeng kesah saking griya. Nalika dumugi ing Bogor kepanggih Tati, putrinipun Bu sudibyo. Lajeng  dipundut abdi dening Bu Sutarna, wiwit menika Irah badhe ngempalaken arta kagem nglajengaken sekolah.
            Ing suwijining dinten, Irah kedah ngladosaken unjukan kagem kanca-kancanipun Sundoro. Nalika ngulungaken radi dredge, lajeng dipuncepengi  Sukri, kancanipun Sundoro. Sukri menika ingkang ngitun serat dhateng Irah.  Bab katresnan, ananging Irah mboten kersa.
            Nalika griya sepi, awit Pak Tarna lan Bu Tarna tindak layat Supriyo. Ing griya namung woten Sundoro lan para abdi. Mbok Yem matur bab lamaranipun Gimin, Irah mboten sagah.
            Mbiten dangu, Sundoro nyuwun dipundamelaken unjukan Jeruk.Ljeng dipun ladosaken ing kamar. Ing kamar, Sundoro ngaturaken  raos tresnanipun marang Irah. Irah lajeng ngrangkul sukunipun Sundoro tanpa nimbangi katresnanipun. Gimin lajeng mlebet kamar nimbali Irah. Lajeng dipundukani Sundoro.
            Sundoro lajeng kintun serat dating Irah, dipun swun kondur mawon awit Sundoro mboten kiyat ningali Irah ngladosi kaluwarganipun. Serat dipun kintun kaliyan mboten supe arta 500ewu.  Lajeng Irah utawi Indiah wangsul sasampunipun matur kaliyan Ny, Sutarna bab katresnanipun marang Sundoro.
            Indiah lajeng pikantok padamelan enggal ing griyaipun Dr. Sujoko wonten ing Jakarta. Ing mrika wonten Suparno, adhinipun Dr, Sujoko. Dening Dr. Sujoko, Indiah kapareng nglajengaken sekolah SMA.
            Ing sawijining dinten Indiah tumut nguntapake Dr, Sukojo ingkang badhe tindak luar negeri wonten ing Bandara. Teng ngrika kepanggih Sundoro kaliyan Utami ingkang badhe nglajengaken sekolah, lajeng sami salaman. Dene Utami ngaturaken panuwun datheng Indiah.
            Boten angu Ny. Sujoko babaraken. Dene Suparno  nyawisaken kangge kongres sedunianipun.  Indiah sekolah malih, lajeng kepanggih kanca-kancanipun. Ugi kepanggih Suwandono tiyang jaler ingkang nate dipun tresnani. Suwandono menika sedulur ipenipun Sukri.
            Nalika Suparno wangsul, bekta tigang paket saking Amerika, Indiah angsal setunggal paket saking Utami. Utami ngintun serat bilih piyambakipun sampun ngandhut kalih wulan.

            Mboten dangu pikantuk serat malih ingkang ngabaraken bilih utami seda.  Dene putranipun kakung, mboten dangu Sundoro rawuh dalemipun Dr. Sujoko. Ingkang wusananipun Indiah lan Sundoro krama.

mugi-mugi paring manfaat

Arti Lambang Kabupaten PATI

Arti Lambang Kabupaten PATI
Daerah PATI adalah salah sattu kabupaten yang terletak strategis bersebelahandengan kabupaten Rembang. Kabupaten pati terkenal dengan sebutan kota pengahsil padi. Karena hamparan sawahnya yang snagat luas. Sawah terbentang disepanjang dataran. Sepanjang melakukan perjalanan di daerah kabupaten Pati pasati mata anda tidak akan pernah lekang dari pemandangan sawah hijau yang membentang luas. Kabupaten memiliki arti lambang yang sudah menjadi simbol kabupaten pati. 

Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: “keris rambut pinutung dan kuluk kanigara”.
Bp Soelaiman Dwijosoekarto atau Mbah Leman merupakan Pencipta lambang daerah kabupaten Pati
# Arti Lambang Daerah Kabupaten Pati :
Padi Kapas mencerminkan bahwa Pati adalah daerah pertanian yang subur.
Jumlah padinya adalah 17 yang merupakan tanggal Kemerdekaan NKRI.
Kapasnya berjumlah 8 melambangkan bulan Kemerdekaan NKRI
Pintu gerbang majapahit yang jumlah manukan gentingnya 45 melambangkan Tahun Kemerdekaan NKRI
Gunung muria serta Laut Jawa yang merupakan latar belakangkondisi geografi Kab Pati.
Keris Rambut Pinutung dan Tombak Senjata andalan Kadipaten Pati juga gambar Kepala Lembu Pragola serta Kuluk Kanigoro kesemuanya itu simbol kebesaran Kadipaten Pati. Makna Bintang adalah bahwasanya masyarakat Pati adalah berkeTuhanan. Makna rantai adalah kerukunan.
Bendera merah putih merupakan bukti bahwa Kabupaten Pati setia selamanya dalam kerangka NKRI
# SEMBOYAN KABUPATEN PATI ADALAH BUMI MINA TANI
DASAR HUKUM :
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor : 3 Tahun 1993 Tentang Semboyan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati
Semboyan BUMI MINA TANI yang merupakan kependekan dari :
B : Berdaya
U : Upaya
M : Menuju
I : Identitas Pati
M : Makmur
I : Ideal
N : Normatif
A : Adil
T : Tertib
A : Aman
N : Nyaman
I : Indah
Semboyan Pati “BUMI MINA TANI” mempunyai maksud sebagai berikut:
– Berdaya, adalah berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita.
– Upaya, merupakan usaha masyarakat dalam mencapai cita-cita yang diharapakan.
– Menuju, merupakan arah / tujuan yang ingin dicapai sesuai identitas daerah.
– Identitas Pati, merupakan ciri kekhususan yang sebenarnya, sehingga masyarakat dengan segala daya dan upaya ingin menemukan Jari Dirinya sendiri.
– Makmur, merupakan cita-cita hidup yang diidam-idamkan seluruh bangsa yang sudah ada sejak bangsa itu lahir.
– Ideal, merupakan harapan masyarakat yang diinginkan agar dicapai suatu keadaan yang selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
– Normatif, merupakan harapan masyarakat dan pemerintah yang ingin mencapai tata kehidupan senantiasa berpihak pada norma-norma yang berlaku.
– Adil, merupakan cita-cita bangsa yang didambakan sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
– Tertib, suatu keadaan yang diharapakan yaitu tertib pemerintah dan tertib masyarakatnya sehingga kedua-duanya harus saling mendukung tanpa ada yang bertentangan.
– Aman, adalah suatu keadaan dimana masyarakat benar-benar merasa aman dan merasa terlindungi dalam hidupnya sehari-hari sebagai warga masyarakat.
– Nyaman, adalah suatu keadaan dimana masyarakat merasa enak, sejuk, sehat, dan segar sehingga memungkinkan masyarakat betah tinggal di lingkungannya.
– Indah, juga sebagai cita-cita pendukung yaitu kondisi estetika dambaan masyarakat.

SEmoga bermanfaat