Sumur Mbah Mutamakkin
Mutamakkin
adalah seorang ulama yang berasal dari Cebolek , sebuah desa kecil di
Kabupaten Tuban tempo dulu, Jawa Timur. Nama “Mutamakkin” yang bermakna
orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini akan kesuciannya konon
adalah gelar yang diberikan kepada beliau seusai dari menuntut ilmu dari
Timur Tengah. Kini nama Mutamakkin lebih terkenal dengan sebutan “ Mbah Mutamakkin “
Sumur Mutamakkin setelah mengalami pemugaran ke tiga kali
Silsilah Mutamakkin :
Garis
keturunan Mutamakkin dari bapak adalah Sultan Trenggono (Raja Demak III
tahun 1521-1546) yang bertemu dengan pada silsilah Raden Fatah (Pendiri
Kerajaan Demak 1478-1518). Dari Ibu, keturunan Sayid Ali Bejagung,
Tuban Jatim. Sayid Ali ini mempunyai putera bernama Raden Tanu, Tanu ini
mempunyai seorang puteri, yakni ibu Mutamakkin.
“Sumohadiwijaya”
adalah nama kecil Mutamakkin. Putera Pangeran Benawa II (Raden
Sumohaidnegara) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka
Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun
binti Prabu Brawijaya ( raja Majapahit Terakhir yang telah masuk
islam ). Ratu Pembayun adalah saudara perempuan Raden Fatah. Istri Jaka
Tingkir adalah Putri Sultan Trenggono bin Raden Fatah.
Sumur Mutamakkin :
Diperkirakan
Mutamakkin hidup sekitar tahun 1685-1710. Konon, sepulang dari Timur
Tengah dari menunaikan Ibadah haji, beliau pulang tidak menaiki
kendaraan pada umumnya melainkan menaiki jin, kemampuan menaiki jin ini
beliau dapatkan berkat ilmu kanuragan yang beliau pelajari dari Timur
Tengah. Tiba-tiba di tengah laut jawa ( Laut yang sekarang wilayah
perairan Bulumanis ) oleh jinnya, beliau dijatuhkan di tengah laut.
Kemudian beliau diselamatkan dan di telan “Ikan Mladang” dalam kondisi
setengah sadar. Beliau kemudian dilemparkan disebuah pantai
Bulumanis lor, dan ditemukan oleh beberapa masyarakat dan diselamatkan.
Papan penunjuk Sumur Mutamakkin di jalan bango Bulumanis lor
Didesa
ini beliau istirahat sambil memulihkan kesehatannya, konon didesa
ini banyak warga yang berguru pada Mutamakkin, sehingga untuk
menopang kehidupan dan bersuci, Mutamakkin membuat sumur dari batang
kayu yang ditancapkan ketanah, dan aneh dari batang kayu yang
ditancapkan ketanah ini kemudian dicabut, dari lobang cabutan kayu ini
mengalirlah mata air yang jernih hingga sekarang.
Cerita Kali Kutukan dan asal-usul nama desa Bulumanis :
Setelah
Mutamakkin tinggal di desa ini dan banyak warga yang berguru, konon
pada waktu masuk waktu sholat banyak santri yang masih berwudlu ,
sehingga Mutamakkin sempat menegur beberapa santri “ wudlu kok kecipak-kecipuk ora bar-bar koyo kutuk ! “ (
wudlu kok ciprat-cipratan air nggak selesai-selesai kayak ikan kutuk /
ikan gabus ). Sehingga kali / sungai yang berada di pinggir sumur
itu terkenal dengan nama “ Kali Kutukan “.
Soal
nama desa Bulumanis, ada beberapa versi cerita yang beredar di tengah
–tengah masyarakat Bulumanis Lor. Konon sewaktu Mutamakkin berwudlu
menggunakan padasan ( beberapa ruas bambu yang dilobangi untuk berwudlu )
melintaslah seekor burung blekok ( kuntul ) dan jatuhlah sehelai bulu
burung blekok tepat dilobang padasan Mutamakkin berwudlu, dan konon rasa
air wudlu yang tawar berubah menjadi agak kemanis-manisan, sehingga
sejak saat itu wilayah tersebut bernama dengan “ Bulumanis “
yang mengandung arti “ bulu yang terasa manis “. Soal sebutan kali
kutukan dan asal-muasal nama desa Bulumanis ini penulis peroleh dari
cerita-cerita yang beredar dari masa-kemasa waktu penulis masih
anak-anak dan kadung dipercaya masyarakat hingga sekarang. ( Wallahu
a’lam ).
Ada dua versi tentang asal usul desa ini. Pertama adalah dari kata “ceblok” (jatuh), dan kedua “Jebol-jebul melek”
(tiba-tiba membuka mata) setelah diselamatkan warga dari muntahan ikan
mladang. Di sebelah barat desa Bulumanis lor saat ini terdapat desa
bernama Cebolek,sangat dimaklumi dan boleh jadi dahulu desa
Bulumanis pada umumnya masih berupa rawa-rawa dan merupakan garis
pantai, dan kemungkinan wilayahnya masih menyatu dengan wilayah yang
saat ini bernama cebolek Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Berguru dan diambil menantu Kiyai Syamsudin :
Dari
desa ini, suatu malam, Mutamakkin melihat sinar lampu dikegelapan malam
dikejauhan arah barat. Karena heran, kemudian beliau mencari dari mana
asal sinar tersebut. Ternyata sinar tersebut adalah sinar lampu K.H
Syamsuddin, pemangku Desa Kajen yang sedang melaksanakan shalat
tahajjud. Kajen adalah sebuah desa disebelah barat desa
Cebolek.Mutamakkin kemudian berguru dan oleh KH. Syamsuddin
Mutamakkin dinikahkan dengan putrinya Nyai Qodimah.
Dari perkawinan tersebut Mutamakkin memiliki putra yaitu :
1. Alfiyah Godeg ( dimakam di desa Kajen Kec. Margoyoso Pati )
2. Bagus ( dimakam di ampel denta Surabaya Jawa Timur )
3. Endro Muhammad ( dimakam di desa Gambiran Kec. Margorejo Pati )
Putra
kedua, Kiai Bagus kemudian bertempat tinggal di Jawa Timur. Di Jawa
Timur tersebut, Kiai Bagus memiliki keturunann antara lain KH Hasyim
Asyari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), dan K.H Bisri
Syamsuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang). Keduanya ini
adalah kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sedangkan
Alfiyah dan Endro tetap tinggal di Kajen. Pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, banyak keturunan Mutamakkin yang mendirikan
sejumlah pondok pesantren (Ponpes) di Kajen. Misalnya pada tahun 1900,
Kiai Nawawi putra KH Abdullah mendirikan Ponpes Kulon Banon atau Taman
Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Pesantren ini adalah Pospes tertua di
Desa Kajen.
Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Ponpes Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau wetan banon ini didasarkan atas posisinya dari komplek pesarean Mbah Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon).
Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Ponpes Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau wetan banon ini didasarkan atas posisinya dari komplek pesarean Mbah Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon).
Sekitar
tahun 1910, K.H Abdussalam (Mbah Salam), saudara Mbah Nawawi,
mendirikan pesantren di bagian Barat Desa Kajen yang dinamakan Popes
Pologarut. Dalam perkembangannya menjadi Ponpes Maslakhul Huda Polgarut
Putra (PMH Putra) dan Polgarut Selatan (PMH Pusat).
Murid dari Mutamakkin sangat banyak di antranya :
1. Ronggokusumo ( dimakam di desa Ngemplak Kidul Kec. Margoyoso Pati )
2. Mizan ( dimakam di desa Margotuhu Kidul Kec. Margoyoso Pati )
3. Shaleh ( dimakam di desa Kajen Kec. Margoyoso Pati ).
Ronggokusumo putra kiai ageng Meruwut, yang masih keponakan Mutamakkin. Dia ditugaskan di Ngemplak dan wafat di desa tersebut.
Peninggalan Arkeologis :
1. Pesarean ( makam ) Mutamakkin ( di Kajen Margoyoso Pati ).
2. Masjid dan mimbar masjid Jami’ Kajen ( di Kajen Margoyoso Pati ).
3. Sumur Mutamakkin ( di Bulumanis lor Margoyoso Pati ).
4. Piring Mutamakkin ( disimpan di pesarean Kajen Margoyoso Pati ).
Sumur Mutamakkin saat ini :
Keberadaan sumur Mutamakkin di desa Bulumanis Lor ,dulunya sewaktu
penulis masih anak-anak ,bukan sumur yang lazim kita temui pada umumnya,
melainkan sudah berubah menjadi sebuah “ blumbang “ (
telaga kecil ) yang dikanan kirinya ditumbuhi pohon sagu dan aneka
vegetasi lain yang tumbuh sangat lebatnya, didalamnya dihuni beberapa
ekor ular yang cukup besar, kecuali itu didalam telaga hiduplah beberapa
ikan yang oleh masyarakat sekitar tidak berani mengambilnya meskipun
ikan tersebut besar-besar, terutama jenis ikan gabus/Kutuk karena takut
berhadapan dengan ular-ular tersebut. Dan warga sekitar bila ingin
mengambil air sumur biasanya mengambil di selokan/sungai kecil yang
memuat limpasan air dari sumur tersebut.
Pada sekitar tahun 1977 oleh Kiyai Ahmad Fahrurrozy (Alm) dan Kiyai
Durri Nawawi (Alm)( keduanya dari desa Kajen ) dan masyarakat desa
Bulumanis lor, sumur Mutamakkin yang semula berupa blumbangan
dipugar besar-besaran dengan melibatkan beberapa mesin pompa air dan
beberapa tukang tebang pohon. Kesempatan ini dipakai warga setempat
untuk ikut memanen ikan gabus/kutuk yang selama itu tidak pernah
tersentuh oleh masyarakat, dari hasil panen ikan tersebut mendapat
sejumlah ikan 6 tolok ( tolok adalah keranjang ikan yang memuat ikan
sekitar 50 Kg ). Kemudian dari blumbangan tersebut dibangun bentuk
tembok melingkar dengan diameter 3 meter dan tinggi tembok sekitar 80
cm.
Musholla Al-Mutamakkin sebagai penanda perjuangan Mutamakkin
Tidak hanya sumur yang dibangun, tepat setahun setelah bangunan sumur,
oleh warga desa Bulumanis lor diareal sebelah barat sumur dibangun
musholla dengan nama “ Musholla Al-Mutamakkin “ sebagai
perwujudan napak tilas dan meneladani perjuangan beliau Mutamakkin.
setelah mengalami kemajuan kunjungan wisatawan dari berbagai
wilayah dan demi terciptanya privasi peziarah yang kepingin mandi di
sumur Mutamakkin. Maka bangunan sumur yang telah berumur kurang
lebih 35 tahun mengalami pemugaran yeng ke tiga, kini wajah sumur
Mutamakkin tidak lagi butut, melainkan telah “ bersolek “ bagai gadis
yang ingin dipinang.
Sumur Mutamakkin kini telah menjadi agenda tetap para peziarah yang
ingin napak tilas Mutamakkin, sumur yang dulu sepi tak satupun yang
berani masuk, kini telah menjadi berkah bagi masyarakat setempat dan
umumnya wisatawan yang datang dari berbagai wilayah. Sumur yang kini di
juru kunci oleh K. Muntari ( sekaligus nadlir pesantren Al-Mutamakkin ) ramai dikunjungi peziarah yang sekedar melihat atau mandi bahkan ada yang mengambil air sumur sebagai obat dan “ ngalap berkah / mengambil kebaikan “ dari Mutamakkin.
Mitos :
Sebagai obat :
Belum ada penyelidikan dan penelitian secara medis selama ini tentang
kandungan air sumur Mutamakkin, namun keberadaannya kadung dipercaya
sebagai obat oleh masyarakat. Tak heran orang yang berpenyakitan kulit
dan penyakit yang lain banyak yang ikut mandi dengan tujuan mendapat
kesembuhan dari keramatnya Mutamakkin. Tak hanya itu wisatawan dan
peziarah banyak yang mengambil air sumur dalam jerigen untuk dibawa
pulang, sekedar memandikan orang sakit di rumah yang tak mampu datang ke
sumur Mutamakkin.
Interior sumur Mutamakkin dikhususkan bagi peziarah yang ingin mandi
Berdasarkan pantauan penulis dan hasil wawancara dengan juru
kunci sumur K. Muntari, wisatawan yang membawa air sumur untuk
dibawa pulang rata-rata adalah wisatawan dari kota lain semisal
Grobogan, Kudus, Demak, Jepara, Semarang, Rembang, dan kota-kota lain di
Jawa Tengah. Untuk kasus yang satu ini air sumur sebagai obat penulis
pahami, di budaya kita utamanya di lingkungan Nahdliyin yang namanya “
ngalab berkah “ dan menganggap benda dari orang sholih dipercaya
mempunyai kekuatan magis masih sangat di percaya sampai sekarang, tidak
heran air sumur Mutamakkin dipercaya menyembuhkan. Wallahu a’lam.
Mengharapkan kekayaan :
Banyak wisatawan dan peziarah bila datang ke sumur Mutamakkin melempar
koin recehan ke dalam sumur, mereka percaya akan dimudahkan
rizqinya. Tak heran dari jepretan kamera penulis di dasar sumur
Mutamakkin terdapat banyak uang koin recehan yang di lempar ke sumur.
Sehingga gejala yang menjurus perilaku syirik ini sudah diwanti-wanti
juru kunci sumur untuk tidak melempar uang koin ke dalam sumur dengan
dalih apapun.
Tampak koin recehan yang di lempar dalam sumur
Gampang jodoh :
Dilingkungan masyarakat tertentu terutama wanita yang tidak laku-laku
ada semacam kepercayaan bila mandi di sumur Mutamakkin akan mudah
mendapatkan jodoh.
Sebagai penglaris :
Sumur Mutamakkin oleh kalangan penjaja seks komersial ( psk ) dapat
dijadikan penglaris, ini dipercaya dan kerap pada malam tertentu banyak
psk yang turut mandi di sumur Mutamakkin.
Fakta :
Pantangan jadi nelayan :
Berdasar hasil wawancara penulis dengan Suharto ( Sekdes Bulumanis lor )
dapatlah di lihat, berdasar sensus penduduk tahun 2010 dan jumlah
penduduk desa Bulumanis lor per Desember 2011, jumlah penduduk desa
Bulumanis lor berjumlah 2518 jiwa, dari usia produktif profesi penduduk :
· Petani
tambak /
sawah
10 %
· Buruh
Tani
40 %
· Jasa
20 %
· Dagang 5 %
· Guru
/
Ustad
1 %
· Nelayan
- %
· Lainnya
24 %
Dari
jumlah prosentase diatas profesi nelayan nihil, ada anggapan yang
beredar sejak turun temurun di masyarakat Bulumanis lor bahwa menangkap
ikan di laut ( nelayan ) sangatlah tidak menghargai jasa ikan ( ikan
Mladang ) yang telah berjasa menyelamatkan Mutamakkin. Untuk itu jadi
nelayan merupakan sebuah pantangan, kalaupun makan ikan laut itu bukan
dicari dari laut melainkan membeli di pasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar