BAB 4 PERISTIWA TUTUR DAN TIDAK TUTUR
Dalam
setiap proses komunikasi terjailah peristiwa tutur dan tindak tutur
dalam satu situasi tutur. Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih
yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu
pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Seperti
yang terjadi dalam keadaan sehari-hari; proses tawar menawar dipasar,
rapat di gedung dewan, dsb. Dell Hymes (1972) suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, kedelapan komponen itu adalah:
- 1. Setting and scene. Setting Berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, situasu tutur yang berbeda dapat menyebankan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
- 2. Participants. Pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara, dan pendengar, penyapa, pesapa, atau pengirim, dan penerima (pesan).
- 3. Ends,merujuk pada maksud dan tujuan.
- 4. Act sequence. Mengacu pada bentuk dan ujaran.
- 5. Key. Mengacu pada nada, cara, semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, serius, singkat, dsb.
- 6. Instrumentalities. Mengacu pada jalur bahasa yang digunaka, seperti jalur lisan dan tulisan.
- 7. Norm of Interaciton and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Seperti cara beriterupsi, bertanya.
- 8. Genre, mengacu pada jenis bentuk dan penyampaian. Seperti narasi, puisi, pepatah, dsb.
Peristiwa
tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala
individu., bersifat psikologis, dan keberlangsungannya di tentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak
tutur terfokus pada makna atau arti tindakan dalam tuturnya. Tindak
tutur dan peristiwa tutur merupakan suatu gelaja yang di timbulkan dari
proses komunikasi.
Sebelum
kita membicarakan teori tindak tutur alangkah baiknya kita bicarakn
dulu pembagian jenis kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa
tradisional. Tata bahasa tradisional terbagi tiga. 1. Kalimat deklaratif
2. Kalimat interogatif 3. Kalimat inperatif. Kalimat deklaratif adalah
kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat
itu menaruh perhatian saja, tanpa memerlukan komentar. Kalimat
interogatif adalah kalimat yang isinya meminta pendengar atau yang
mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan. Sedangkan
kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar
atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau
perbuatan yang diminta.
Austin
(1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan makananya menjadi
kalimat konstantif atau kalimat performatif. Yang di maksud kalimat
performatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka seperti, “ ibu
dosen kami cantik sekali.”sedangkan kalimat performatif adalah kalimat
yang berisi perlakuan. Artinya apa yang di ucapkan oleh si pengujar
berisi apa yang dilakukannya. Misalnya ucapan rektor dalam pembukaan
acara, “Dengan ucapan bismillah acara rektor cup ini saya buka.”
Tindak
tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962:
100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tidakan yang berlangsung
sekaligus, yaitu 1. Tindak tutur lokusi 2. Tindak tutur
ilokusi 3. Tindak tutur perlokusi. Tindak tutur lokusi adalah tindak
tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur
dalam bentuk kalimat bermakna dan dapat dipahami. Misalnya, “Ibu guru
berkata kepada saya agar saya membantunya.” Tindakan tutur ilokusi
adalah tindak tutur yang biasanya didefinisikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit. Misalnya, “Ibu guru menyuruh saya agar
segera berangkat.” Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang
berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan
perilaku non linguistik dari orang lain. Misalnya, “mungkin ibu
menderita penyakit jantung korones”. Maka si pasien akan merasa panik
dan sedih.
Tindak tutur sebenarnya merupakan selah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Fenomena lainnya dalam kajian pragmatik adalah dieksis,
presuposisi dan implikatur percakapan. Sebagai topik yang melengkapi
deiksis, presuposisi dan implikatur percakapan, pragmatik lazim diberi
definisi sebagai “telaah mengenai hubungan antara lambang dengan
penafsiran.” (Purwo 1990: 15) yang di maksudkan dengan lambang disini
adalah ujaran.
Yang
dimaksud dieksis adalah hubungan antar kata yang digunakan di dalam
tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah
dan berpindah. Kata-kata yang refennya bis ajadi tidak tetap ini
disebut kata-kata deiktis. Kata-kata yang referensnya dieksis ini,
antara lain, adalah kata-kata yang berkemaa dengan pesona (dalam tindak
tutur berupa kata-kata yang menyatakan tempat, seperti di sini, si sana, di situ), dan waktu (dalam tindak tutur berupa kata-kata yang menyatakan waktu, seperti tadi, besok, nanti dan kemarin). Perhatikan contoh berikut!
A dan B sedang bercakap-cakap, dengan akhir dari percakapan itu berupa:
A: Saya belum bayar SPP: belum punya uang.
B: Sama, saya juga.
Jelas kata saya pada percakapan itu, pertama mengacu pada A; lalu, mengacu pada D maka, kata saya itu bersifat deiktis.
Sedangkan
yang dimaksud dalam tindak tutur adalah makna atau informasi “tambahan”
yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Jadi dalam
ujaran tersebeut selain mendapat makna “asal” yang tersirat dalam ujaran
itu, terdapat pula makna lain yang hanya bisa di pahami secara
tersirat. Misalnya, “Tolong panggilkan nama saya di Padang Arafah
nanti.” Mempunyia presuposisi bahwa yang diminta tolong akan berangkat
menuanikan ibadah haji, dan meminta tolong sudah mengetahui hal itu, dan
juga dia mempunyai keinginan untuk menunaikan ibadah haji itu juga.
Semoga bermanfaat ya kawaaaan.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar