Selasa, 09 Agustus 2016

Seni karawitan, budaya multi fungsi

BAB I
PENDAHULUAN
            Dahulu ketika berada dalam kekuasaan kerajaan, maka segala bentuk, pola kehidupan masyarakat banyak diatur oleh kerajaan. Kedudukan seorang raja sebagai pemimpin akan menentukan nasib segalanya. Ketika seorang raja bersabda, maka segalanya akan berubah, termasuk didalamnya adalah kesenian.          Sekarang ketika kerajaan sudah berkurang kekuasaannya, maka kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bentuk-bentuk seni, bebas untuk melakukan aktifitas. Seakan bebas dari belenggu, maka bentuk-bentuk seni pasca jaman kerajaan terkesan mulai saling menyapa, dan bergaul. Sekarang kehidupan kesenian di dalam kraton sudah tidak dimonopoli bentuk-bentuk seni istana. Bahkan, dalam acara-acara tertentu, bentuk-bentuk seni produk non kraton sudah terbiasa merambah masuk, dan dinikmati oleh masyarakat kraton (lingkungan istana). Alkulturasi akhirnya menjadi bagian yang sangat penting dalam menjaga eksistensinya.
Perubahan kondisi tersebut mengakibatkan banyak hal, salah satunya orientasi seniman dalam berkarya bergeser. Dahulu dalam berkarya seorang seniman selalu terbawa oleh kewenangan seorang raja, bahkan tidak sedikit karya-karya seni yang dipersembahkan kepada raja, sehingga banyak karya seni yang penciptanya diatasnamakan raja yang berkuasa pada saat itu.

Sekarang, dalam berkarya seorang seniman tidak hanya berorientasi pada penguasa saja, melainkan masyarakat sebagai konsumen mendapatkan prioritas yang sama, karena masyarakatpun mempunyai kewenangan untuk menentukan bentuk, pengakuan, dan penghargaan akan legalitas suatu karya seni. Namun demikian tidaklah mudah seorang seniman untuk selalu mengikuti keinginan masyarakat “pasar”. Dengan berorientasi pada keinginan masyarakat kadangkala membuat seorang seniman menjadi dilematis. Tidak menutup kemungkinan karyanya bersifat tidak orisinal, tidak sesuai emosi jiwanya, tetapi lebih pada kebutuhan pasar, bahkan banyak pula yang lebih pada tuntutan ekonomi.       Dewasa ini, kesenian tidak selalu menduduki tempat yang sama dalam kehidupan masyarakat. Presepsi dan kegemaran bentuk kesenian antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda. Peran perubahan sosial dalam berbagai aspek kehidupan manusia ikut menentukan keberadaan suatu bentuk seni. Sebagai pemegang hak atas mati dan hidupnya suatu bentuk seni, manusia berhak menciptakan, melestarikan dan mengembangkan bentuk-bentuk seni yang disesuaikan dengan kondisi dimana dan kapan ia hidup.
Dengan demikian, selama manusia hidup, seni tidak akan pernah mati. Melainkan turun-temurun, berputar, sesuai dengan kodrat dan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan sifat kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganik, yaitu kebudayaan yang tetap hidup terus, dan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (Soekanto, 1990: 188).
Sebagai salah satu bidang dari kebudayaan, kedudukan seni dalam masyarakat tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang lain. Kesenian selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Kesenian selalu melekat pada kehidupan setiap manusia, dimana ada manusia disitu ada kesenian (Driyarkara, 1980: 8). Dengan demikian antara seni dengan manusia tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan. Manusia membutuhkan seni untuk keperluan hidupnya, sedang seni membutuhkan manusia sebagai pendukungnya. Sebagai pendukungnya, diharapkan manusia dapat melestarikan dan mengembangkan dengan menciptakan bentuk-bentuk baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi jaman maupun lingkungan. Disadari atau tidak, dalam mengembangkan suatu bentuk kesenian tidak akan lepas, dan selalu bersinggungan dengan aspek-aspek lain, seperti sosial, ekonomi, kepercayaan, adat-istiadat, dan lain sebagainya.
Seni dan masyarakat ibarat simbiosis mutualisme, keduanya saling ketergantungan dan membutuhkan. Perubahan di satu sisi akan berpengaruh terhadap sisi lainnya. Demikian juga yang berlaku pada seni karawitan. Perkembangannya sangat tergantung pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Dewasa ini sebagaian besar masyarakat menganut konsep hidup “ praktis dan ekonomis “. Salah satu akibatnya adalah kemasan suatu bentuk seni harus beorientasi pada konsep hidup tersebut. Saat ini munculah berbagai macam bentuk pertunjukan dengan latar belakang seni karawitan, seperti campursari, kolaborasi musik diatonis dan pentatonis, karawitan modern, maupun kontemporer. Dalam seni karawitan tradisi, perubahan yang terjadi ditandai dengan semakin banyaknya gending-gending srambahan yang disajikan dalam suatu hajatan.
Dahulu orang akan dengan santainya mendengarkan gending-gending klasik yang berdurasi lama, disertai dengan minum kopi, merokok, ngobrol kesana kemari sampai menjelang pagi, dan ini seakan bagian dari hidupnya. Fenomena seperti itu sekarang sudah jarang ditemui. Kecenderungannya baik yang punya hajat maupun tamu undangan hanya menyesuaikan dengan kebutuhan acara saat itu.

Perubahan yang demikian menjadikan keberadaan seni karawitan dianggap kurang mewadahi kebutuhan masyarakat pendukungnya, kurang komunikatif, dan atau istilah lain yang intinya seni karawitan sudah kurang sesuai dengan kondisi jaman sekarang. Pendapat yang demikian masih memerlukan pembuktian secara ilmiah, karena sebagai salah satu bagian dari produk budaya, seni karawitan mempunyai hak untuk dikomunikasikan kepada masyarakat.
Adapun syarat untuk dikomukasikan antara lain harus nampak baik secara audio maupun visual. Jelas dengan syarat tersebut seni karawitan dapat memenuhi kriteria sebagai produk budaya yang dapat berkomunikasi kepada masyarakat. Secara visual dapat dilihat bahwa karawitan dimainkan dengan menggunakan seperangkat alat yang disebut gamelan, yang masing-masing instrumennya mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri, sedangkan secara audio dapat dirasakan melalui suara merdu gamelan mengalunkan gending-gending dengan karakter yang berbeda, dapat menggambarkan serta mempengaruhi jiwa maupun perasaan seseorang, bahkan dalam lingkup yang lebih besar yaitu masyarakat.
Selain sebagai suatu produk budaya, seni karawitan masih memiliki fungsi yang banyak. Untuk itu dalam makalah ini mengambil judul “KARAWITAN, SENI PERTUNJUKAN MULTI FUNGSI”. Sehingga dalam makalah ini akan dapat memberikan gambaran tentang seni karawitan dan menjawab permasalahan antara lain: apa pengertian dari karawitan itu sendiri? Apa saja yang menjadi pendukung dari sebuah pertunjukan seni karawitan? Kemudian apa saja fungsi-fungsi dari diadakannya seni pertunjukan karawitan? Selain itu juga tentang bagaimana perkembangan karawitan di Indonesia?
Dengan demikian, dari makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis pribadi maupun pembaca yaitu menambah informasi dan pengetahuan tentang pertunjukan seni karawitan. Sehingga apabila suatu saat mengadakan suatu pertunjuakan tentang seni karawitan apapun fungsinya, maka dapat mempersiapkan dengan baik. Atau suatu saat melihat suatu pertunjukan entang seni kaawitan maka akan sudah mendapatkan gambaran awal tentang seni karawitan yang ditonton dan dapat mengambil lebih banyak pelajaran darinya.
Dalam penulisan makalah ini, penilis menggunakan metode observasi tentang seni pertunjukan karawitan yang ada maupun turunan dari seni karawitan seperti seni campusari. Selain itu penulis juga banyak melakukan studi pustaka tentang seni karawitan baik dari literatur buku-buku pustaka maupun dari artikel-artikel lepas yang ada di internet. Serta tidak lupa pula untuk tetap melakukan wawancara mendalam kepada narasumber kami yang terhormat yaitu beliau yang telah berkecimpung dan tela memiliki ilmu yang cukup mengenai seni karawitan.
Data yang diperoleh dari berbagai sumber pencarian data tersebut kemudian dikumpulkan, digolongkan, dan diolah. Untuk selanjutnya data tersebut dijadikan sebuah informasi dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Seni Karawitan
Sebelum istilah karawitan mencapai popularitas di masyarakat seperti sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah sering terdengar kata rawit yang artinya halus, indah-indah (Prawiroatmojo, 1985:134). Begitu pula sudah terdengar kata ngrawit yang artinya suatu karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan indah (Soeroso: 1985,1986). Dari dua hal tersebut dapat diartikan bahwa seni karawitan berhubungan dengan sesuatu yang halus, dan rumit. Kehalusan dan kerumitan dalam seni karawitan tampak nyata dalam sajian gending maupun asesoris lainnya.
Suhastjarja (1984) mendefinisikan seni karawitan adalah musik Indonesia yang berlaras non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya sudah menggunakan sistim notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis dan campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain. Martopangrawit (1975) berpendapat, seni karawitan adalah sebagai seni suara vokal dan instrumen yang menggunakan nada-nada yang berlaras slendro dan pelog.
Ki Sindusawarna dalam buku Karawitan Jilid I berpendapat, bahwa dari segi bahasa, karawitan berasal dari kata rawita, diberi awalan ka, dan akhiran anRawita artinya mengandung rawit, yang berarti halus, indah, rumit. Jadi karawitan berarti kumpulan dari segala yang mengandung kehalusan dan keindahan.
Soeroso (1975) mendefinisikan karawitan sebagai ungkapan jiwa manusia yang dilahirkan melalui nada-nada yang berlaras slendro dan pelog, diatur berirama, berbentuk, selaras, enak didengar dan enak dipandang, baik dalam vokal, instrumental, maupun garap campuran.
K.R.M.T.H. Soemodiningrat (1936) mendefinisikan karawitan dalam bentuk tembang macapat Dhandhanggulo sebagai berikut:
Kang ingaran krawitan winarni
tetabuhan gangsa tuwin tembang
katrine winastan joged
kumpuling telu iku
karawitan dipun wastani
tegese ka-alusan
alus trusing kalbu
dadi tetengering bangsa
ing sadhengah bangsa mesthi handarbeni
lelangen karawitan
Adapun arti dari tembang tersebut kurang lebih berarti sebagai berikut :
yang disebut karawitan adalah
bunyi dari gamelan serta tembang
yang ketiga disebut dengan joged
kesatuan dari ketiganya itu
disebut karawitan
artinya adalah kehalusan budi
merasuk ke dalam sanubari
itu semua menjadi lambang suatu bangsa
dimana setiap bangsa tentu memilikinya
berolah karawitan
Berdasarkan sejarah, keberadaan gamelan dalam hal ini seni karawitan sudah berabad-abad lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan, maupun prasasti-prasasti di dinding candi yang ditemukan. Perkembangan selanjutnya dari masa ke masa mengalami perubahan, baik bentuk, jenis, maupun fungsinya. Dari yang sangat sederhana, menjadi sederhana, kemudian menjadi lebih komplit.
Bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa dan berbagai macam bentuk permainannya dapat ditemukan pada piagam Tuk Mas yang bertuliskan huruf Pallawa. Keserdehanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang digunakan untuk perlengkapan upacara keagamaan (Palgunadi, 2002:7).
Kehidupan seni karawitan sejauh ini sudah mengalami perjalanan sejarah yang panjang bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit, dan Mataram. Dibawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut, gamelan (seni karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan mendokumentasikan. Banyak penemuan-penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan asing. Sebagian hasil penemuan tersebut selanjutnya digunakan untuk mempelajari seni karawitan.
Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan menggambarkan bahwa seni karawitan merupakan suatu produk kebudayaan yang selalu ingin berkembang, menyesuaikan dengan kondisi jaman. Hal ini sesuai dengan kodratnya, bahwa seni karawitan sebagaimana cabang seni pertunjukan tradisi lainnya dikategorikan dalam jenis seni komunal, yaitu seni yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat. Keberadaan dan perkembangannya tergantung pada kondisi masyarakat. Dalam konteks yang lain dapat dikategorikan dalam bentuk seni yang patronage, yaitu seni jenis yang mengabdi kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap sebagai payungnya. Sehingga keberadaan dan perkembangannya tergantung pada penguasa.
Pada jaman kerajaan perkembangan seni karawitan berjalan pesat. Peran Raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan hidup dan matinya suatu bentuk seni. Seperti yang diutarakan dalam puisi abad ke-14 kakawin Negarakertagama, kerajaan Majapahit mempunyai lembaga khusus yang bertanggung jawab mengawasi program seni pertunjukan (Sumarsam, 2003:19). Begitu pentingnya seni pertunjukan (karawitan) sebagai suatu pertanda kekuasaan raja adalah keterlibatan gamelan dan teater pada upacara-upacara atau pesta-ria kraton (Sumarsam, 2003:11).
Perkembangan seni karawitan berlanjut dengan munculnya Kerajaan Mataram. Pada jaman ini dianggap sebagai tonggak seni karawitan, terutama untuk gaya Yogyakarta dan Surakarta. Tidak hanya penambahan jenis-jenis gamelan saja, melainkan fungsi seni karawitanpun mengalami perkembangan. Disamping sebagai sarana upacara, seni karawitan juga berfungsi sebagai hiburan. Dahulu seni karawitan produk kraton hanya dinikmati di lingkungan kraton. Selanjutnya karena keterbukaan kraton dan palilah Dalem, seni karawitan produk kraton sudah berbaur dengan masyarakat pendukungnya.
Dari realita tersebut terlihat begitu kuatnya peran penguasa dalam menentukan keberadaan suatu bentuk kesenian. “Sabda pandhito ratu” merupakan kebiasaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan pada saat itu. Eksistensi dan perkembangan kesenian di masyarakat, keadaannya, penciptaannya, pelaksanaannya tergantung pada kegiatan para pendukung, dan adat kebiasaan yang berlaku. Popularitas suatu cabang seni bertalian erat dengan kegemaran orang banyak pada suatu waktu, hidup suburnya berkaitan dengan penghargaan, bantuan materiil dari penguasa (Djojokoesoemo, tt.:132-133).
  1. Gamelan, Pendukung Utama Seni Karawitan
Pembahasan tentang pendukung seni karawitan tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan tentang gamelan itu sendiri. Kata gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama.
Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab, Siter, Suling. Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan.
Gambar 1. Seperangkat Gamelan Jawa
Sumber : http\\wonojoyo.com
Tidak ada kejelasan tentang sejarah terciptanya alat musik ini. Tetapi, gamelan diperkirakan lahir pada saat budaya luar dari Hindu – Budha  mendominasi Indonesia. Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik India, tetap ada beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara “menyanyikan” lagunya. Penyanyi pria biasa disebut sebagai wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana.
Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah “gong”, yang digunakan untuk memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelan.
Sebagian besar alat musik Gamelan terdiri dari alat musik perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditabuh. Oleh sebab itu pada waktu orang memainkan alat musik Gamelan biasanya disebut “NGGAMEL”. Nggamel adalah bahasa Jawa yang berarti memukul / menabuh. Inilah sebenarnya asal usul kata GAMELAN (Nggamel = Gamel ditambahan akhiran –an).
Pada candi-candi di Indonesia terpahat berbagai instrumen gamelan, antara lain ; pada beberapa bagian dinding Candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada Candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.
Gambar 2. Relief Instrumen Gamelan Gong di Candi Borobudur
Sumber : http\\wonojoyo.com
Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada Candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada Candi Ngrimbi (abad ke – 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di Candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di Candi Tegawangi (abad ke-14 M). Jelas terlihat bahwa karawitan sangat populer dan berpengaruh pada masa lampau.
Pada jaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, dan Sunda (Jawa Barat). Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut. Sedangkan Gamelan Bali lebih rancak dan Gamelan Sunda lebih mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup “orang jawa” pada umumnya.
Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalu “memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak”. Oleh sebab itu, “orang jawa” selalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu “sléndro”,  “pélog”,  ”Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu :  1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu :  1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar.
Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
  1. Fungsi-fungsi Seni Karawitan
    1. Bahan Kuliah, Hiburan Eksklusif hingga Pengganti Yogha dan Taichi
Dewasa ini seni Karawitan Jawa sedang ”naik daun” di berbagai belahan dunia, contohnya di California (USA), Muenchen (Jerman) dan Amsterdam (Belanda). Seni yang eksotis dan ekslusif menjadi daya tarik tersendiri bagi Karawitan Jawa untuk menarik perhatian banyak orang.
Jika di Amerika Serikat semua perguruan tingginya telah membuka kelas Karawitan Jawa, lain halnya dengan di Muenchen. Di Muenchen setiap bulannya di gelar pentas orkestra gamelan dengan harga tiket yang mahal, meskipun begitu, tiap bulan penonton pasti memadati gedung orkestra dan tiketpun laris manis. Lebih mengherankan lagi, ternyata seluruh personilnya adalah warga negara asli Jerman. Sedangkan di Belanda, nabuh gamelan bukan lagi sekedar mencari hiburan, namun sebagai olahraga pengganti Yogha dan Taichi.
  1. Pusaka Kerajaan hingga Fungsi Estetika
Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001).
Secara filosofis gamelan jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan dekat dengan perkembangan religi yang dianutnya. Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual.
Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).
  1. Pengimbang Alat Musik Barat Dan Filter Budaya Asing Yang Negatif
Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada.Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar.
Budaya Jawa mulai terkikis dan jauh dari pewarisnya. Hal tersebut terjadi, lantaran sebuah seni karawitan kurang diajarkan pada anak-anak usia dini, sehingga mereka lebih asyik dengan permainan modern yang notabene bukan ciri khas budaya dari negeri sendiri.
Namun hal tersebut tidak terjadi di sebuah SD yang dulunya hanya dihuni oleh murid lelaki. SD Kasatriyan Solo yang berada di lingkungan keraton ini, format pendidikan yang dianutnya lebih banyak mengajarkan suasana Jawa kental. Mulai jenis ekstrakulikuler ala Jawa seperti Karawitan, Kulintang dan Angklung, Rebana, Tari Putra-Putri, mereka juga fasih Bahasa Jawa dan selalu diutamakan salam kepada teman juga guru menggunakan Bahasa Jawa.
Gambar 4. Anak SD Kasatriyan Memainkan Gamelan
Sumber : timlo.net
Meski mereka masih terbilang anak-anak dikisaran umur 10 tahunan, mereka sangat gape dan tidak canggung memainkan alat musik gamelan. Bahkan, Ekstrakurikuler karawitan ini masih menjadi favorit untuk diikuti muridnya. Menurut Guru kesenian SD Kasatriyan, Mulyanta S.Sn, citra tradisi Jawa memang erat melekat pada sekolah tersebut.
Pria paruh baya tamatan ISI Surakarta ini menuturkan, dari sekian banyak ekstrakulikuler kesenian yang ada di SD tersebut, karawitanlah yang menjadi favorit. Lebih lanjut Mulyanta menegaskan, bahwa semua kegiatan Budaya Jawa di intern SD Kasatriyan Solo ini adalah bentuk upaya penolakan atau Filter budaya asing negatif yang masuk ke Indonesia.
  1. Dari Wayang Hingga Klenengan
Antara seni karawitan dengan masyarakat ibarat sekeping uang logam, karawitan selalu ada di dalam jiwa manusia, karena dalam menjalani kehidupannya manusia selalu berirama. Seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana upacara, hiburan yang bersifat sederhana maupun rumit.
Gamelan dibunyikan atau digunakan untuk mengiringi pergelaran wayang, mengiringi tari-tarian, mengiringi upacara sekaten, upacara kenegaraan/keagamaan, mengiringi klenengan untuk hal-hal tertentu (upacara nikah, ngundhuh mantu dan lain-lain).
Gambar 5. Waranggana dan Sinden Dalam Pementasan Wayang
Sumber : http\\wonojoyo.com
  1. Tembang Alat Pendidikan Budaya Jawa
Semakin hari, penerapan budaya Jawa telihat semakin menurun. Karena  sebagian besar orang Jawa mulai meninggalkan tata cara Jawa yang diwariskan oleh leluhurnya. Untuk mengantisipasinya, penggalian budaya semestinya harus dimulai sejak dini, yaitu memulainya dari masa kanak-kanak. Namun, cara ini tidak mudah memerlukan kesadaran, sikap telaten, waktu yang cukup panjang, serta media yang tepat.
Salah satu media yang mudah, tanpa memerlukan sarana yang rumit adalah seni suara. Hampir setiap orang dapat melakukannya meskipun tidak sempurna. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, seni suara dikenal melalui tembang.
Tembang  memang berasal dan kata kembang yang mempunyai persamaan makna dengan kata sekar, yang juga berarti  “bunga”. Bunga adalah alat untuk mengungkapkan isi hati seseorang kepada orang lain yang mempunyai tempat spesial di hatinya. Oleh sebab itu, tembang digunakan juga untuk mengekspresikan perasaan atau hati seseorang.
Dalam dalam bahasa jawa, tembang juga bisa berarti “lagu”, yaitu ragam suara yang berirama, berupa rangkaian tangga nada yang tersusun secara urut dan harmonis sehingga menghasilkan bunyi-bunyian yang mengandung unsur-unsur keindahan atau estetik. Sebagian besar warisan budaya nenek moyang Jawa memang dikemas dalam bentuk tembang atau kidung . Namun, jika sang penulis tembang  telah tiada sebelum sempat mentafsirkan, tembang seringkali memiliki banyak tafsiran yang berbeda.
Salah satu tembang yang dahulu digemari oleh anak-anak adalah Tembang Dolanan. Walaupun tembang dolanan seringkali digunakan untuk meninabobokan anak-anak, tembang dolanan adalah seni yang cukup menarik untuk dikaji.  Di dalamnya terdapat misteri yang penting untuk kehidupan manusia, karena jenis tembang ini dapat membentuk keluhuran watak dan moral anak
Dalam serat Wedatama, Raden Mas Sudira atau yang lebih akrab dengan sebutan Gusti Pangeran Arya Mangkunegara Surakarta IV memang menyiratkan bahwa keindahan tembang dapat membentuk moral anak. Tembang Pangkur melukiskan hal ini melalui sebuah bait yang berbunyi :
Mingkar mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji.
Terjemahan secara bebasnya adalah : “Menghindarkan diri dari angkara. Apabila hendak mendidik sang putra. (sebaiknya), dikemas dalam keindahan syair. Dihias agar tampak indah. Supaya tujuan ilmu luhur ini tercapai. Kenyataannya, di tanah Jawa, agama dianut raja”.
Dan uraian tersebut, jelas sekali bahwa untuk mendidik seorang putra dibutuhkan kehalusan budi yang harus diformulasikan dalam bentuk kidung atau tembang (sinawung resmining kidung). Selain itu supaya anak didik tersebut dapat menguasai ilmu-ilmu luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang pada ratusan tahun silam (mrih kretarta pakartining ngelmu luhung). Dan kesemua itu adalah bagian dari budaya Jawa.
  1. Sarana Komunikasi
Fungsi seni karawitan yang sangat menonjol adalah sebagai sarana komunikasi. Suatu bentuk seni yang berbobot harus mampu menyampaikan atau berkomunikasi dengan baik. Maksud atau makna dari suatu karya seni tidak akan sampai ke dalam hati sang pengamat apabila komunikasinya kurang efektif, hubungan antara karya dan yang menyaksikannya tidak mantap (Djelantik, 2004:56). Dalam hal ini, seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif, baik secara vertikal maupun horisontal.
Secara vertikal kemampuan seni karawitan dalam berkomunikasi terwadahi dalam bentuk gending sebagai kumpulan nada-nada yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa enak apabila didengarkan. Gending dalam seni karawitan mempunyai karakter yang berbeda, ada yang berkarakter gembira, sedih, prenes, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa gending yang dianggap keramat, dan diyakini mempunyai kekuatan tertentu. Untuk membunyikannya memerlukan sesaji khusus. Kekuatan gending tersebut dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta.
Dalam konteks yang lain Judith Baker menginterpretasikan bahwa melodi musik jawa (gamelan) mempunyai kaitan erat dengan sistem kepercayaan asta-wara, yaitu siklus kalender bulan dan sistem pengetahuan Jawa. Siklus ketukan gong dapat dibagi menjadi setengah kenong, seperempat kempul, seperdelapan kethuk, seperenambelas saron, dan sepertigapuluh bonang barung (Fananie, 2000: 134).
Secara horisontal, komunikasi pada seni karawitan tercermin dari hasil sajian yang merupakan hasil kerjasama antar unsur yang ada pada seni karawitan, bersifat kolektif, saling mendukung untuk memberi tempat berekspresi sesuai dengan hak dan kewajibannya.. Hal ini sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar menganut asas gotong-royong, lebih mengutamakan kebersamaan.
Untuk mendapatkan sajian yang baik, para pemain (pengrawit) saling berhubungan, berkomunikasi satu dengan lainnya. Komunikasi disini tidak secara jelas, tetapi terwujud dalam permainan instrumen sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Disamping itu, banyak terdapat cakepan dalam tembang, baik itu disajikan dengan bentuk gerong, sindhenan, bowo, atau lainnya, yang semuanya memuat ajaran luhur untuk berbuat kebaikan, meskipun banyak yang berupa sanepa, simbol.
Simbol-simbol yang ada dalam seni karawitan dapat dikatakan menyerupai filosofi manusia, maupun pola hidup manusia. Diantaranya, penyebutan nada-nada instrumen dalam laras slendro, 1 (Barang), 2 (Gulu/Jangga), 3 (Dhadha), 5 (Lima), 6 (Nem), dan 1 (Barang alit). Nama-nama tersebut penggambaran atau ditafsirkan sebagai bagian organ tubuh manusia.
Selain itu dari nada-nada laras slendro (1,2,3,5,6) apabila kita jumlah menjadi 17. Jumlah tersebut sesuai dengan kewajiban hidup masyarakat penganut agama Islam, yaitu menjalankan sholat wajib sehari semalam 17 rakaat. Misteri angka 17 dalam laras slendro dapat pula dihubungkan dengan peristiwa besar yang terjadi di Indonesia, yaitu terbebasnya negara Indonesia dari penjajah atau merdeka yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa komunikasi tidak hanya menggunakan sesuatu yang berwujud nyata, jelas artinya, tetapi dapat juga dengan bahasa simbol. Komunikasi dapat sebagai aktivitas simbolis, karena aktivitas komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan, atau simbol ‘bukan kata-kata verbal’ untuk ‘diperagakan’ (Liliweri, 2003: 5).
  1. Perkembangan Karawitan di Indonesia
Seni karawitan (musik pentatonis) mendapatkan kedudukan yang istimewa di dunia seni pertunjukan Indonesia. Tentu saja, pernyataan ini tidak sekedar pujian atau basi-basi tanpa alasan. Di Surakarta dan Yogyakarta (eks ibukota kerajaan) yang hingga sekarang menjadi pusat budaya (kesenian), seni karawitan dapat berkembang bebas, baik di lingkungan njeron beteng (kraton) maupun luar kraton.
Hampir setiap kelurahan di Yogyakarta memiliki seperangkat gamelan (alat musik Jawa), bahkan ada yang lebih dari satu unit. Belum lagi gamelan milik personal, baik dari kalangan bangsawan kraton, seniman maupun masyarakat biasa. Di sela-sela kesibukan masyarakat, dapat dipastikan ada aktivitas nabuh gamelan yang dilakukan rutin berkala. Ada kelompok yang beranggotakan pria dewasa, wanita dewasa, remaja serta anak-anak. Keberadaan seni karawitan di luar pulau Jawa memang tidak sepopuler seperti di daerah Surakarta dan Yogjakarta.
Indonesia pernah memiliki tujuh  SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), lembaga pendidikan formal sederajad SMA, sebagai tempat mempelajari karawitan secara intens bagi anak usia remaja. Di tingkat perguruan tinggi, masih ada beberapa institut seni yang tetap berkibar dan memiliki ribuan mahasiswa program studi karawitan. Hasil dari kedua jenjang pendidikan formal tersebut tentu saja profesional-profesional muda di bidang seni pertunjukan (karawitan).
Namun belakangan ini minat pemuda untuk masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia semakin berkurang, bahkan jumlah siswa yang mendaftar tidak memenuhi kouta. Hal itu sangat ironis mengingat ahli-ahli di bidang karawitan yang akan dihasilkan menjadi semakin berkurang, sedangkan di belahan dunia lain Karawitan Jawa mengalami perkembangan yang pesat. Seiring dengan di bukanya kelas-kelas karawitan di perguruan tinggi di USA, maka di perlukan juga banyak tenaga pelajar yang merupakan seniman profesional berijazah di bidang karawitan.
Sungguh menyedihkan jika seni Karawitan Jawa, yang notabene merupakan hasil budaya Indonesia kekurangan tenaga pengajar sehingga memakai orang asing sebagai pengajarnya. Harus diakui bahwa ada perasaan iri ketika menyadari kemapanan masa depan seni karawitan lebih menjanjikan di belahan benua lain.
Bahkan kadang muncul pernyataan mereka telah mencuri warisan budaya bangsa kita. Kenyataanya tidak harus menyalahkan negara lain, hal itu terjadi karena kita acuh tak acuh terhadap hasil kebudayaan sendiri. Mental nasionalisme bangsa kita seperti butuh ”pemacu” untuk kembali menumbuhkan semangat cinta budaya sendiri.
Sebagai pemilik, masyarakat kita ternyata cenderung menempatkan karawitan sebagai sesuatu yang eksklusif. Sudah bukan hal yang langka apabila hampir semua bangunan joglo dilengkapi dengan seperangkat gamelan yang tertata apik di salah satu sudutnya. Jika ada yang hendak mencoba nabuh, belum tentu diizinkan.
Ada beribu alasan untuk menjadikan gamelan layaknya benda keramat bertuah, sehingga tidak sembarang tangan boleh menyentuh. Bilapun mendapat izin, si pemilik akan lebih dulu menyampaikan peringatan-peringatan “menakutkan” dengan suara ketus dan sorot mata tajam. Mungkin hal tersebut yang membuat masyarakat enggan untuk belajar karawitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar