BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium
bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi
sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam
aspeknya. Puisi adalah bagian dari karya sastra. Membicarakan puisi
berarti membicarakan bahasa dalam puisi. Puisi merupakan karya estetis
yang memanfaatkan sarana bahasa yang khas Suminto (dalam Diah Eka, 2016:
01). Setiap pengarang menulis puisi berdasarkan ekspresi perasaannya
sehingga bahasa yang digunakan bisa dimaknai berbeda. Setiap puisi yang
dibuat oleh penyairtentu memiliki makna dan arti di dalamnya yang tidak
diketahui secara implisit. Puisi adalah bentuk kesusastraan yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dengan
menggunakan bahasa pilihan. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang
membangkitkan perasaan dan merangsang imajinasi panca indera dalam
susunan yang berirama.
Apresiasi puisi tidak mungkin hanya terpaut pada kajian intrinsik semata
tetapi harus mencakup pada keseluruhan unsur tanda (bentuk), isi, dan
konteks, yang dapat membawa pembaca pada pemahaman secara menyeluruh
tentang puisi itu menjadi hal yang sangat penting.
Sastra adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium
bahasa. Membicarakan puisi berarti membicarakan kebahasaan puisi. Puisi
sebagai salah satu karya sastra dapat dianalisis dari bermacam-macam
aspeknya. Analisis menggunakan pendekatan semiotik dengan tujuan
memahami makna yang terkandung dalam puisi. Menganalisis puisi adalah
usaha menangkap dan memberi makna pada teks puisi. Sastra biasa
diartikan sebagai teks dengan bahasa yang estetik dan isi yang baik.
Bahasa yang estetik artinya bisa menimbulkan kesan dan menghibur
pembacanya. Isi yang baik artinya bermanfaat yang berarti mengandung
nilai moral.
Analisis menggunakan pendekatan semiotik dengan tujuan memahami makna
yang terkandung dalam puisi. Menganalisis puisi adalah usaha menangkap
dan memberi makna pada teks puisi. Sastra biasa diartikan sebagai teks
dengan bahasa yang estetik dan isi yang baik. Bahasa yang estetik
artinya bisa menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik
artinya bermanfaat yang berarti mengandung nilai moral.
1.2. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana yang dimaksud dengan kajian puisi dengan pendekatan semiotika?
- Apa yang dimaksud dengan tanda dalam kajian semiotik?
- Apa perbedaan pendekatan semiotik dan non semiotik?
1.3. TUJUAN
- Untuk mengetahui kajian semiotik dalam puisi
- Untuk mengenal berbagai tanda (kode) dalam kajian semiotik.
- Untuk mengetahui perbedaan kajian semiotik dan nonsemiotik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. HAKIKAT KAJIAN SEMIOTIKA DALAM PUISI
Sebuah puisi seperti juga karya- karya sastra lainnya merupakan rekaman
semua sisi dan pranata kehidupan manusia. Puisi merupakan tanda yaitu
symbol- symbol bahasa yang ditata sedemikian rupa. Namun demikian, tanda
dalam puisi tidak berarti sama dan sebangun dengan tanda dalam karya-
karya lain seperti prosa dan karya ilmiah. Dalam keunikannya tanda dalam
puisi memuat sejumlah makna (tersurat, tersorot, dan tersirat),
sejumlah rasa, imaginasi, sensasi, dan lainnya (Ambarita, 2009: 132).
Di samping tanda, puisi juga ditopang oleh sejumlah konteks (situasi,
budaya, dan ideology). Puisi tidak ditulis dalam kekosongan budaya
tetapi lahir dalam latar belakang sejarah (sastra) yang panjang dan
dalam latar belakang social yang kompleks. Jika symbol- symbol dalam
puisi dihubungkan konteks yang melatarbelakanginya, lahirlah makna
puisi. Selanjutnya, bahasa yang fungsional dalam konteks itu akan
membentuk sebuah wacana yaitu wacana puisi. Bahasa, makna (arti), dan
konteks yang membangun puisi itu membentuk sebuah system yaitu system
semiotik.
Pendekatan sastra yaitu puisi dengan mengambil aspek tanda (struktur),
arti, dan konteks sebagai sudut pandangnya, dalam sastra dikenal sebagai
pendekatan semiotik. Pendekatan ini dilandasi oleh pemikuran bahwa sisi
kehidupan manusia dianggap sebagai system tanda (Junus, 1984: 17). Tiap
tanda itu mewakili konsep tertentu dan selanjutnya tiap konsep itu
membangun makna tertentu pula. Tanda itu tidak muncul begitu saja,
tetapi dilatarbelakangi oleh sejumlah konteks (situasi, budaya, dan
ideology). Dengan pendekatan seperti itu, sebuah puisi tidak hanya
dilihat dari segi strukturnya saja tetapi akan dilihat sebagai sebuah
system yang komponen- komponennya bersama- sama membangun sebuah makna.
Dengan memahami bahwa puisi adalah tanda (symbol) yang dalam konteks
tertentu difungsikan untuk menyampaikan pandangan penyair tentang
pranata dan fenomena hidup manusia, masih sangat diperlukan penelitian
yang lebih mendalam.
2.2. SEJARAH KAJIAN SEMIOTIKA
Pada abad masehi, istilah semiotika pertama kali digunakan oleh John
Locke pada tahun 1632- 1704 dalam tulisannya yang diberi judul Essay
Concering Human Understanding. Secara etimologis kata Semiotika berasal
dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Sejarah
menyebutkan semiotika telah digunakan untuk prognosis dan diagnosis
suatu penyakit. Plato (228- 348 SM) juga megungkapkan pengertian
semiotika dalam karyanya Cratylus, sedangkan Aristoteles (384- 322 SM)
berjudul Poetics dan On Interpretation. Jelaslah bahwa semiotika sudah
ada pada masa sebelum masehi (Anggie, 2013: 29).
Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles
Shander Peirche. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam
bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirche di
Amerika. Latar belakang keilmuan Saussure yaitu linguistic dan Peirce
dikenal sebagai ahli Filsafat. Menurut Saussure ilmu yang
dikembangkannya tersebut disebut Semiologi yang juga disebut semiotic
tersebut ialah Ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda- tanda dan
lambang, sistem- sistem lambang dan proses- proses perlambangan.
Sedangkan Peirce menyebutnya Semiotics yang kemudian hal ini berganti-
ganti dipergunakan dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan
nama semiologi dan Amerika lebih banyak dipakai nama semi- otik
(Pradopo, 2005: 119).
Inti dari kontribusi semiotik Saussure adalah rancangan bagi teori umum
tentang sistem tanda yang disebut semiologi. Semiologi akan menunjukkan
apakah yang mendasari tanda- tanda itu, apakah aturan- aturan atau hokum
yang mengaturnya. Menurut Saussure tanda sebagai kesatuan dari dua
bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas.
Dimana ada tanda disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata
atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indera kita yang
disebut signifier bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya disebut
signified,bidang petanda atau konsep atau makna. Sedangkan menurut
Peirce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu
yang lain dalam batas- batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke
sesuatu yang lain, oleh Peirce disebut objek. Mengacu berarti mewakili
atau menggantikan.
2.3. Puisi dalam Perspektif Semiotika
Istilah “semiotik” pada mulanya muncul sebagai salah satu bentuk kajian
bahasa dengan mengambil bentuk dan arti sebagai landasannya. Dalam teori
semiotik, ada dua elemen dasar yang harus diperhatikan dalam kajian
bahasa yaitu arti dan bentuk; arti direalisasikan melalui bentuk atau
bentuk merupakan alat untuk mengekspresikan arti (Ambarita, 2009: 136).
Puisi sebagai sebuah wacana juga merupakan sebuah sistem semiotik. Ada
unsur arti (discourse) dan ada unsur bentuk (teks). Arti puisi
direalisasikan dengan bentuk yaitu simbol- simbol atau kode yang dapat
berupa fonem, kata, frasa, klausa, kalimat, atau pengulangan simbol-
simbol dan tanda tertentu.
Dalam kajian sastra, pendekatan semiotik merupakan perkembangan lebih
lanjut dari pendekatan strukturalisme (Junus, 1994: 17). Pendekatan ini
lahir sebagai bagian dari keseluruhan pemikiran kaum strukturalis
Scholes (dalam Ambarita, 2009: 136). Ini berarti pendekatan semiotic
telah dengan sendirinya mengandung muatan pendekatan
strukturalisme.
Dalam operasionalnya yang lebih luas, semiotik mempelajari keseluruhan
kegiatan manusia yang dapat dianggap sebagai tanda. Argumentasi yang
mendasari bahwa perbuatan manusia itu dinyatakan dalam sistem tanda
(Junus, 1987: 74). Dengan demikian, dalam kajian sastra, semiotik lebih
memusatkan perhatian pada simbol- simbol tanda yang ada pada wacana
berikut dengan sistem yang ada pada sastra tersebut termasuk puisi.
Melalui kajian semiotik seperti itu kaum semiotik berusaha mendekati dan
mempersepsi kandungan (makna) yang ada dalam setiap wacana puisi.
Ada banyak sistem tanda dalam suatu karya sastra. Tiga diantaranya
menurut Pierce dalam Suhada (1987: 35) yaitu “ikon, indeks, dan
simbol”.
- Ikon yaitu suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri- ciri bersama dengan apa yang dimaksud. Contoh foto atau gambar seseorang merupakan ikon karena menggambarkan keadaan yang sebenarnya (sama) sesuai dengan apa yang dimaksudkan. “ Dalam karya puisi, bentuk tipografi, susunan bahasa, dan susunan teks dapat menggambarkan isi teks (puisi) itu” (Hartono, 1984: 46). Oleh karena itu, bentuk tipografi, susunan bahasa, dan susunan teks dalam sebuah puisi merupakan tanda berupa ikon.
- Indeks adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Contohnya dalam ramalan cuaca arah angin merupakan tanda keadaan cuaca.
- Symbol merupakan tanda yang memperlihatkan hubungan antara penanda (kode) dengan apa yang ditandai, tidak bersifat alami tetapi merupakan kesepakatan bersama (Hartono, 1984: 46). Dalam puisi bahasa merupakan kesepakatan konvensional.
Dalam perspektif semiotik, puisi tidak lahir begitu saja, tetapi
ditopang oleh sejumlah konteks (situasi, budaya, dan ideologi). Teew
(dalam Ambarita, 2009: 37) mengatakan bahwa “ karya sastra tidak ditulis
dalam kekosongan budaya”. Dalam hal ini puisi lahir dengan sejumlah
latarbelakang kultura, dalam latar belakang sejarah sastra yang panjang,
dan dalam latar belakang social budaya yang luas dan kompleks. Karena
itulah sebuah puisi menurut Pradopo (1987: 254) dipersiapkan oleh
masyarakat dan kekuatan- kekuatan yang ada pada zamannya. Bahasa yang
difungsikan dalam merealisasikan makna puisi dalam konteks (budaya,
situasi, dan ideologi) seperti itulah yang selanjutnya disebut sebagai
wacana puisi. Itu berarti, dalam perspektif semiotik, puisi adalah
sebuah bahasa yang fungsional dalam konteks tertentu hubungan antara
bahasa, arti, dan konteks selanjutnya dikenal sebagai sistem
semiotik.
Dalam kajian puisi dengan pendekatan semiotik, sistem tanda (bahasa)
harus dianalisis dalam kaitannya dengan situasi, budaya dan ideologi
yang menjadi latar belakang pemakaian bahasa itu. Selanjutnya arti
(makna) puisi harus diperoleh melalui sintesis antara bahasa dan konteks
yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, dalam kajian semiotik
bahasa, arti, dan konteks harus dipandang sebagai sebuah sistem yang
membangun sebuah makna (puisi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar