Minggu, 20 Desember 2015

Bahasa Tulis Dan Sistem Aksara

Dalam bagian yang terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem bunyi. Jadi bahasa itu adalah apa yang dilisankan. Juga sudah disebutkan bahwa linguistik melihat bahasa itu adalah bahasa lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang dituliskan. Namun linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab apapun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik, padahal bahasa tulis dekat sekali hubungannya denganm bahasa. Hanya masalahnya, linguistik juga punya prioritas dalam kajiannya. Begitulah, maka bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu daripada bahasa tulis. Malah saat ini masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulis. Artinya, bahasa itu hanya digunakan secara lisan, tetapi tidak secara tulisan. Dalam bahasa itu belum dikenal ragam bahasa tulisan, yang ada hanya ragam bahasa lisan.
Bahasa tulis sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan, sebagai usaha manusia untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Namun, ternyata rekaman bahasa tulis sangat tidak sempurna. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi, dan nada yang tidak dapat direkam secara sempurna dalam bahasa tulis, padahal dalam berbagai bahasa tertentu tiga unsur itu sangat penting.

Apakah bahasa tulis itu sama dengan bahasa lisan, atau bagaimana? Meskipun dari awal sudah disebutkan bahwa bahasa tulis sebenarnya tidak lain daripada rekaman bahasa lisan, tetapi sesungguhnya ada perbedaan besar antara bahasa tulis dengan bahasa lisan. Bahasa tulis bukanlah bahasa lisan yang dituliskan seperti yang terjadi kalau kita merekam bahasa lisan itu ke dalam pita rekaman. Bahasa tulis sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau tidak hati- hati, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya kesalahan dan kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar, maka kesalahan itu tidak bisa secara langsung diperbaiki. Berbeda dengan bahasa lisan. Dalam bahasa lisan setiap kesalahan bisqa segera diperbaiki, lagipula bahasa lisan sangat dibantu oleh intonasi, tekanan, mimik, dan gerak- gerik si pembicara.

Berbicara mengenai asal mula tulisan, hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan manusia mulai menggunakan tulisan. Ada cerita yang mengatakan bahwa tulisan itu ditemukan oleh Cadmus, seorang pangeran dari Phunisia dan lalu membawanya ke Yunani. Dalam fable Cina dikisahkan bahwa yang menemukan tulisan adalah T’sang Chien Tuhan bermata empat, dan sebagainya. Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar- gambar yang terdapat dari gua-gua di Altamira di Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar- gambar itu dengan bentuknya yang sederhana secara langsung menyatakan maksud atau konsep yang ingin disampaikan. Gambar- gambar ini disebut pictogram, dan sebagai sistem tulisan disebut piktograf.

Beberapa waktu kemudian gambar- gambar piktogram itu benar- benar menjadi sistem tulisan yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu huruf yang berupa satu gambar, melambangkan satu makna atau satu konsep. Piktograf ini selanjutnya tidak lagi menggambarkan benda yang dimaksud, tetapi telah digunakan untuk menggambarkan sifat benda atau konsep yang berhubungan dengan benda itu. Piktograf yang menggambarkan gagasan, ide, atau konsep ini disebut ideograf. Kemudian ideograf berubah menjadi lebih sederhana, sehingga tidak tampak lagi hubungan langsung antara gambar dengan hal yang dimaksud. Sistem demikian, yang menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Lalu dalam perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh orang Yunani yang kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan menggambarkan setiap konsonan dan vocal dengan satu huruf. Selanjutnya, aksara Yunani ini diambil alih pula oleh orang Romawi. Pada abad-abad pertama Masehi aksara Romawi ini (yang lazim disebut aksara Latin) menyebar ke seluruh dunia. Tiba di Indonesia sekitar abad XVI bersamaan dengan penyebaran agama Kristen oleh orang Eropa.

Jadi, sudah dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu aksara piktografis, aksara ideografis, aksara silabis, dan aksara fonemis. Semua jenis aksara itu tidak ada yang bisa “merekam” bahasa lisan secara sempurna. Banyak unsur bahasa lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan tepat dan akurat. Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur- unsur bahasa lisan hanyalah huruf besar untuk memulai kalimat, koma untuk menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk menyatakan interogasi, tanda seru untuk menyatakan interjeksi, dan tanda hubung untuk menyatakan penggabungan. Bahasa- bahasa di dunia ini dewasa ini lebih umum menggunakan aksara Latin daripada aksara lain. Aksara Latin adalah aksara yang tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel akan dinyatakan dengan huruf vokal dan huruf konsonan. 

Huruf vokal untuk melambangkan fonem vokal dan huruf konsonan untuk melambangkan fonem konsonan dari bahasa yang bersangkutan. Hubungan antara fonem (yaitu satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna dalam suatu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil dalam aksara) ternyata juga bermacam- macam. Tidak sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap bahasa tidak sama dengan jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.

Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya dipakai untuk melambangkan satu fonem. Jika demikian, ternyata ejaan bahasa Indonesia belum seratus persen ideal, sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk melambangkan sebuah fonem. Namun, tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh lebih baik daripada ejaan bahasa Inggris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar