Dalam bagian yang terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa adalah
sebuah sistem bunyi. Jadi bahasa itu adalah apa yang dilisankan. Juga
sudah disebutkan bahwa linguistik melihat bahasa itu adalah bahasa
lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang dituliskan. Namun linguistik
sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab apapun
yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik,
padahal bahasa tulis dekat sekali hubungannya denganm bahasa. Hanya
masalahnya, linguistik juga punya prioritas dalam kajiannya. Begitulah,
maka bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis
adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu daripada bahasa tulis. Malah
saat ini masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi
tulis. Artinya, bahasa itu hanya digunakan secara lisan, tetapi tidak
secara tulisan. Dalam bahasa itu belum dikenal ragam bahasa tulisan,
yang ada hanya ragam bahasa lisan.
Bahasa tulis sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan,
sebagai usaha manusia untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa
disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang
berbeda. Namun, ternyata rekaman bahasa tulis sangat tidak sempurna.
Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi, dan nada yang
tidak dapat direkam secara sempurna dalam bahasa tulis, padahal dalam
berbagai bahasa tertentu tiga unsur itu sangat penting.
Apakah bahasa tulis itu sama dengan bahasa lisan, atau bagaimana?
Meskipun dari awal sudah disebutkan bahwa bahasa tulis sebenarnya tidak
lain daripada rekaman bahasa lisan, tetapi sesungguhnya ada perbedaan
besar antara bahasa tulis dengan bahasa lisan. Bahasa tulis bukanlah
bahasa lisan yang dituliskan seperti yang terjadi kalau kita merekam
bahasa lisan itu ke dalam pita rekaman. Bahasa tulis sudah dibuat orang
dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau tidak hati- hati, tanpa
pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya kesalahan dan
kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar, maka kesalahan itu tidak
bisa secara langsung diperbaiki. Berbeda dengan bahasa lisan. Dalam
bahasa lisan setiap kesalahan bisqa segera diperbaiki, lagipula bahasa
lisan sangat dibantu oleh intonasi, tekanan, mimik, dan gerak- gerik si
pembicara.
Berbicara mengenai asal mula tulisan, hingga saat ini belum dapat
dipastikan kapan manusia mulai menggunakan tulisan. Ada cerita yang
mengatakan bahwa tulisan itu ditemukan oleh Cadmus, seorang pangeran
dari Phunisia dan lalu membawanya ke Yunani. Dalam fable Cina dikisahkan
bahwa yang menemukan tulisan adalah T’sang Chien Tuhan bermata empat,
dan sebagainya. Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal
dan tumbuh dari gambar- gambar yang terdapat dari gua-gua di Altamira di
Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar- gambar itu dengan
bentuknya yang sederhana secara langsung menyatakan maksud atau konsep
yang ingin disampaikan. Gambar- gambar ini disebut pictogram, dan
sebagai sistem tulisan disebut piktograf.
Beberapa waktu kemudian gambar- gambar piktogram itu benar- benar
menjadi sistem tulisan yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu
huruf yang berupa satu gambar, melambangkan satu makna atau satu
konsep. Piktograf ini selanjutnya tidak lagi menggambarkan benda yang
dimaksud, tetapi telah digunakan untuk menggambarkan sifat benda atau
konsep yang berhubungan dengan benda itu. Piktograf yang menggambarkan
gagasan, ide, atau konsep ini disebut ideograf. Kemudian ideograf
berubah menjadi lebih sederhana, sehingga tidak tampak lagi hubungan
langsung antara gambar dengan hal yang dimaksud. Sistem demikian, yang
menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Lalu dalam perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh
orang Yunani yang kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat
alfabetis, yaitu dengan menggambarkan setiap konsonan dan vocal dengan
satu huruf. Selanjutnya, aksara Yunani ini diambil alih pula oleh orang
Romawi. Pada abad-abad pertama Masehi aksara Romawi ini (yang lazim
disebut aksara Latin) menyebar ke seluruh dunia. Tiba di Indonesia
sekitar abad XVI bersamaan dengan penyebaran agama Kristen oleh orang
Eropa.
Jadi, sudah dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu
aksara piktografis, aksara ideografis, aksara silabis, dan aksara
fonemis. Semua jenis aksara itu tidak ada yang bisa “merekam” bahasa
lisan secara sempurna. Banyak unsur bahasa lisan yang tidak dapat
digambarkan oleh aksara itu dengan tepat dan akurat. Alat pelengkap
aksara yang ada untuk menggambarkan unsur- unsur bahasa lisan hanyalah
huruf besar untuk memulai kalimat, koma untuk menandai jeda, titik untuk
menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk menyatakan interogasi, tanda
seru untuk menyatakan interjeksi, dan tanda hubung untuk menyatakan
penggabungan. Bahasa- bahasa di dunia ini dewasa ini lebih umum
menggunakan aksara Latin daripada aksara lain. Aksara Latin adalah
aksara yang tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel akan dinyatakan
dengan huruf vokal dan huruf konsonan.
Huruf vokal untuk melambangkan
fonem vokal dan huruf konsonan untuk melambangkan fonem konsonan dari
bahasa yang bersangkutan. Hubungan antara fonem (yaitu satuan bunyi
terkecil yang dapat membedakan makna dalam suatu bahasa) dengan huruf
atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil dalam aksara) ternyata juga
bermacam- macam. Tidak sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang
lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap bahasa tidak sama dengan
jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.
Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan
yang melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya
setiap huruf hanya dipakai untuk melambangkan satu fonem. Jika demikian,
ternyata ejaan bahasa Indonesia belum seratus persen ideal, sebab masih
ada digunakan gabungan huruf untuk melambangkan sebuah fonem. Namun,
tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh lebih baik daripada ejaan
bahasa Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar