Adanya berbagai macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah,
bagaimana kita harus menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat. Hymes
(1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi
dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang
diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
- Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan
- Participants, yaitu orang- orang yang terlibat dalam percakapan
- Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan
- Act sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan
- Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan
- Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan
- Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan
- Genres, yaitu menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Kedelapan unsur tersebut dalam formulasi lain bisa dikatakan dalam
berkomunikasai lewat bahasa harus diperhatikan faktor- faktor siapa
lawan atau mitra bicara kita, tentang apa, situasinya bagaimana,
tujuannya apa, jalurnya apa dan ragam bahasa yang digunakan yang mana.
Kontak Bahasa
Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat
menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau
lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak
bahasa. Bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan saling
mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang datang. Hal yang sangat
menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah
terjadinya atau terdapatnya apa yang disebut bilingualisme dan
multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, sepertu interferensi, integrasi, alihkode, dan campurkode.
Bahasa dan Budaya
Satu lagi yang menjadi objek kajian linguistik makro adalah mengenai
hubungan bahasa dengan budaya atau kebudayaan. Dalam sejarah linguistik
ada suatu hipotesisyang sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dengan
kebudayaan ini. Hipotesis ini dikeluarkan oleh dua orang pakar, yaitu
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf ( hipotesis Sapir- Whorf) yang
menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan atau bahasa itu
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.
Jadi bahasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia. Apa yang
dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat- sifat bahasanya.
KLASIFIKASI BAHASA
Klasifikasi dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada
setiap bahasa. Bahasa yang mempunyai kesamaan ciri dimasukkan dalam satu
kelompok. Menurut Greenberg (1957: 66) suatu klasifikasi yang baik
harus memenuhi persyaratan nonarbitrer, ekhaustik, dan unik. Nonarbitrer
maksudnya bahwa kriteria klasifikasi hanya harus ada satu kriteria,
maka hasilnya akan ekhaustik. Artinya, setelah klasifikasi dilakukan
tidak ada lagi sisanya, semua bahasa yang ada dapat masuk ke dalam salah
satu kelompok. Hasil klasifikasi juga harus bersifat unik, maksudnya
kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelompok, dia tidak
bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain, kalau masuk ke dalam dua
kelompok atau lebih berarti hasil klasifikasi itu tidak unik.
Klasifikasi Genetis
Klasifikasi genetis disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan
berdasarkan garis keturunan bahasa- bahasa itu. Artinya, suatu bahasa
berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori
klasifikasi genetis ini, suatu bahasa pro ( bahasa tua, bahasa semula)
akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau lebih. Lalu, bahasa
pecahan ini akan menurunkan pula bahasa- bahasa lain. Kemudian bahasa-
bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa- bahasa pecahan berikutnya.
Klasifikasi genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti
yaitu atas kesamaan bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa-
bahasa yang memiliki sejumlah kesamaan seperti itu dianggap berasal dari
bahasa asal atau bahasa proto yang sama. Apa yang dilakukan dalam
klasifikasi genetis ini sebenarnya sama dengan teknik yang dilakukan
dalam linguistik historis komparatif, yaitu adanya korespondensi bentuk
(bunyi) dan makna. Oleh karena itu, klasifikasi genetis bisa dikatakan
merupakan hasil pekerjaan linguistik historis komparatif. Klasifikasi
genetis juga menunjukkan bahwa perkembangan bahasa- bahasa di dunia ini
bersifat divergensif, yakni memecah dan menyebar menjadi banyak, tetapi
pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan teknologi
komunikasi yang semakin canggih, perkembangan yang konvergensif
tampaknya akan lebih mungkin dapat terjadi.
Klasifikasi Tipologis
Klasifikasi tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe-
tipe yang terdapat pada sejumlah bahasa. Tipe ini merupakan unsur
tertentu yang dapat timbul berulang- ulang dalam suatu bahasa.
Klasifikasi tipologi ini dapat dilakukan pada semua tataran bahasa. Maka
hasil klasifikasinya dapat bermacam- macam, akibatnya menjadi bersifat
arbitrer karena tidak terikat oleh tipe tertentu.
Klasifikasi pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
§ Kelompok pertama adalah yang semata- mata menggunakan bentuk bahasa
sebagai dasar klasifikasi. ( klasifikasi morfologi oleh Fredrich Von
Schlegel)
§ Kelompok kedua adalah yang menggunakan akar kata sebagai dasar klasifikasi ( oleh Franz Bopp).
§ Kelompok ketiga adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi, pakarnya antara lain H. Steinthal.
Pada abad XX ada juga pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang
berbeda, misalnya yang dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954).
Klasifikasi Areal
Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik
antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal
atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara
genetik atau tidak. Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam
kontak sejarah bahasa- bahasa itu memberikan pengaruh timbal balik dalam
hal- hal tertentu yang terbatas. Klasifikasi inipun bersifat non
ekhaustik, sebab masih banyak bahasa- bahasa di dunia ini yang masih
bersifat tertutup dalam arti belum menerima unsur- unsur luar. Selain
itu, klasifikasi inipun bersifat non unik, sebab ada kemungkinan sebuah
bahasa dapat masuk dalam kelompok tertentu dan dapat pula masuk ke dalam
kelompok lainnya lagi. Usaha klasifikasi ini pernah dilakukan oleh
Wilhelm Schmidt (1868- 1954) dalam bukunya Die Sprachfamilien und Sprachenkreise der Ende, yang dilampiri dengan peta.
Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara
bahasa dengan faktor- faktor yang berlaku dalam masyarakat, tepatnya
berdasarkan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap
bahasa itu. Klasifikasi sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh
William A. Stuart tahun 1962 yang dapat kita baca dalam artikelnya “ An
Outline of Linguistic Typology for Describing Multilingualism”.
Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri atau kriteria, yaitu :
- historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu,
- standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku atau statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal,
- vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam kegiatan sehari- hari secara aktif atau tidak,
- homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu diturunkan.
Dengan menggunakan keempat ciri di atas, hasil klasifikasi bisa
menjadi ekshaustik sebab semua bahasa yang ada di dunia dapat dimasukkan
ke dalam kelompok- kelompok tertentu. Tetapi hasil ini tidak unik sebab
sebuah bahasa bisa mempunyai status yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar